Oleh : NASICHUN AMIN (Kepala KUA Kec.
Duduksampeyan Gresik)
Tidak hanya di masjid, tetapi lembaga
lain di masyarakat atau secara peroranganpun banyak yang melakukan kegiatan
sosial ini. Masyarakat yang merasa membutuhkan berbondong bonding membajiri
tempat pembagian ZIS sampai beberapa
kali timbul kericuan dalam pendistribusian
ZIS dan bahkan timbul korban jiwa karena kecerobohan dan kesemerawutan
dalam pembagiannya akibat berdesak-desakan dan saling berebutan.
Apabila melihat sejarah perkembangan Islam di
Indonesia khususnya ketika zaman penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah
Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200
tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah, termasuk priyayi
pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Kebijakan ini dikeluarkan karena
khawatir dengan perkembangan Islam dan upaya untuk memisahkan agama dari urusan
kehidupan.Kebijakan ini mengubah praktek pengelolaan zakat di Indonesia saat
itu.Kesadaran masyarakat untuk berzakat menjadi menurun dan sebagian lagi
menyerahkan zakat mereka ke individu ulama dengan harapan mendapat syafaat dari
Allah Yang Maha Kuasa.
Pada masa pendudukan Jepang,
pemerintah mulai ambil bagian dalam pengelolaan zakat.Hal itu ditandai dengan
dibentuknya MIAI (Majlis ‘Islam Ala Indonesia).Pada tahun 1943, MIAI membentuk
Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara
terkoordinasi.Gerakan secara massif pun dilakukan. Upaya-upaya itu rupanya
tidak sia-sia, sebab dalam jangka waktu yang singkat, -hanya beberapa bulan
saja-, Baitul Mal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten
yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir
akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang
membubarkan MIAI.(Moch. Arif Budiman. “ Melacak Praktik Pengelolaan Zakat Di
Indonesia Pada Masa Pra-Kemerdekaan,” JurnalKhazanah
(IAIN Antasari, Banjarmasin), Vol. IV, No. 01, Januari-Februari
2005, hlm. 4-12 https://sepkymardian. wordpress. Com
/2014/09/22/pengelolaan-zakat-di-indonesia-perspektif-sejarah-dan-regulasi/)
Dalam masa awal kemerdekaan pemerintah
masih memilih tidak ikut campur dalam pengelolaan zakat. Pada tahun 1991 baru
diterbitkan Surat Keputusan Bersama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang
Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990.
Baru setelah masuknya masa reformasi pemerintah
mulai mengakomodasi pengelolaan zakat secara lebih serius.Pemerintah dan DPR
mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun
1999.Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai
masalah intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang
ekonomi dan sosial.Dilanjutkan pada tahun 2001 setelah terbentuknya Badan Amil
Zakat di tingkat pusat pemerintah mencanangkan Gerakan Sadar Zakat Nasional.Pada
tahun 2011pemerintah memperbaharui peraturan pengelolaan zakat sesuai dengan
kondisi yang ada dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat dan ditindanlanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor
14 tahun 2014.
Dalam undang-undang tersebut ada
persyaratan administratif yang tentang Pengelolaan Zakat.Misalnya amil harus
mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan
sebagainya.Walaupun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi
undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38
undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan
tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu
komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah
memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang
berwenang."
Namun seiring telah berjalannya
operasioonal BAZNAS yang sudah banyak aktif di sampai di tingkat kabupaten
serta Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh organisasi masyarakat keagamaan
dan telah mendapat izin resmi dari pemerintah maka secara hukum Islam, amil di
masjid dan mushala harus mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini
BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh BAZNAS
Untuk mengetahui pihak yang berwenang
mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan
pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat
diketahui bahwa ada tiga Pengelola Zakat yang ada di Indonesia.Pertama adalah
Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi
maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin
oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan
Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau
oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ Kabupaten.
Pengangkatan amil adalah kewenangan
imam (penguasa tertinggi) seperti dalam definisi amil. Namun demikian,
kewenangan itu bisa dilimpahkan kepada para pejabat pembantunya, yang ditunjuk
untuk mengangkat amil–yang menurut PP No 14 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Status Kepanitiaan
Zakat yang dibentuk atas Prakarsa Masyarakat Seperti di Pedesaan, Perkantoran,
Sekolahan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat dan tidak diangkat oleh
presiden atau pejabat yang diberi kewenangan olehnya, maka keduanya tidak
berstatus sebagai amil syar'i.
Dalam rumusan Keputusan Bahtsul
Masail PWNU Jatim di Sidogiri, 09-10 Juni 2005 dinyatakan siapa yang dimaksud
imam dalam kitab fiqih. Imam dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah Kepala Pemerintahan dalam hal ini Presiden. Adapun terkait dengan
pembentukan amil zakat adalah presiden dan orang-orang diberi wewenang
membentuk amil.
Dalam bahtsul masail tersebut juga
dinyatakan bahwa panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat tidak
termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat selama belum mendapatkan SK
atau izin dari lembaga yang berwenang.(http://www.hasilbahtsu.
com/2005/06/amil- zakat.html)
Dari
pembahasan dan uraian di atas, maka kepanitian pengumpulan zakat,
infaq-shodaqoh dan distribusinya yang
didirikan di masjid atau mushollah dapat dianggap illegal terutama di wilayah
yang terjangkau oleh BAZNAS atau LAZ yang sudah banyak didirikan resmi di
daerah-daerah sampaio tingkat kabupaten/kota. Bagi masjid atau musholla yang di
daerahnya belum terjangkau BAZNAS atau LAZ masih bisa dibenarkan atau dianggap
legal dengan syarat melaporkan kinerjanya kepada ionstansi terkait yang dalam
hal ini adalah kantor urusan agama (KUA) di tiap kecamatan sebagai ujung tombak
kementerian Agama RI yang membidangi urusan zakat.
Peran kantor urusan agama (KUA) sangat
penting dan strategis dalam upaya meningkatkan kualitas ibadah rukun Islam yang
ketiga setelah sholat. KUA institusi negara di bidang agama yang paling dekat
dan bersentuhan langsung dengan masjid dan musholla. Peran KUA sangat
dibutuhkan dalam menata pengelolaan zakat supaya lebih terarah dan akuntabel
serta dapat dipertanggungjawabkan.
Disamping itu juga sudah menjadi salah
satu fungsi KUA sebagaimana dalam pasal 3 ayat 1 huruf h Peraturan Menteri
Agama RI Nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan
Agama disebutkan bahwa KUA mempunyai fungsi pelayanan bimbingan zakat dan
wakaf.Namun itu semua tergantung kemauan, kondisi dan situasi yang ada karena
kondisi sumber daya manusia KUA di beberapa daerah sangat minim.
KUA bersama penghulu dan atau penyuluh
agama Islam yang ada dapat berkoordinasi dengan BAZNAS atau LAZ yang ada dalam
bimbingan dan penyuluhan zakat kepada para ta’mir masjid dan musholla.Bimbingan
dilanjutkan pelatihan administrasi zakat kepada ta’mir masjid dan musholla
dilakukan secara berkelanjutan sehingga pengelolaan zakat yang meliputi
pengumpulan dan distribusinya berjalan dengan baik dan akuntabel. Tentunya
kepanitiaan zakat yang sudah biasa terbentuk harus tetap dilibatkan dan
disahkan dengan memberikan surat keputusan pengesahan (SK) sebagai unit
pengumpul zakat (UPZ) yang merupakan bagian dari BAZNAS atau LAZ
Walaupun dalam struktur disebut
sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) namun
juga menjadi kepenjangan tangan BAZNAS atau LAZ dalam membantu distribusinya
karena dalam fiqh zakat dijelaskan bahwa hasil pengumpulan zakat di suatu
daerah lebih utama dibagikan ke mustahiq dio daerah asal perolehan zakat
tersebut dan yang paling mengetahui
perihal mustahioq zakat adalah lembaga yang terdekat yaitu masjid dan
musholla sekitarnya. Dengan demikian baik pengumpulan zakat infaq-shodaqoh
maupun pendistribusian bisa lebih maksimal dan lebih tepat sasaran
Legalitas panitia zakat di masjid atau
musholla dengan diangkat menjadi UPZ secara resmio dan sah dijadikan amil zakat
baik secara syar’iy maupun sesuai aturan perundang-undangan yang ada berdampak
meningkatnya pengumpulan zakat infaq-shodaqoh dan distribusi ZIS lebioh tepat
sasaran.Peran KUA sangat ditunggu dan dinantikan oleh masyarakat khususnya
dalam peniongkatan upaya pelaksanaan rukun Islam yang ke tiga ini.