Minggu, 29 April 2018

LEGALITAS PANITIA ZAKAT DI MASJID MENJADI AMIL ZAKAT RESMI & PERAN KUA KECAMATAN




Oleh : NASICHUN AMIN (Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Gresik)
 Seperti sudah biasa dilakukan setiap menjelang atau di awal bulan suci Ramadhan hampir setiap masjid di desa dan dusun membentuk panitia penerimaan zakat fitrah, mal , infaq dan shadaqoh.  Fenomena ini terjadi di hampir semua daerah baik di pedesaan maupun perkotaan. Pembayaran zakat infaq shodaqoh (ZIS) dan distribusi dana sosial masyarakat kepada orang yang berhak menerimanya  pasti lebih semarak dilakukan di bulan yang penuh rahmat dan maghfiroh setiap tahunnya.
Tidak hanya di masjid, tetapi lembaga lain di masyarakat atau secara peroranganpun banyak yang melakukan kegiatan sosial ini. Masyarakat yang merasa membutuhkan berbondong bonding membajiri tempat pembagian ZIS  sampai beberapa kali timbul kericuan dalam pendistribusian  ZIS dan bahkan timbul korban jiwa karena kecerobohan dan kesemerawutan dalam pembagiannya akibat berdesak-desakan dan saling berebutan.
Apabila melihat sejarah perkembangan Islam di Indonesia khususnya ketika zaman penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah, termasuk priyayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Kebijakan ini dikeluarkan karena khawatir dengan perkembangan Islam dan upaya untuk memisahkan agama dari urusan kehidupan.Kebijakan ini mengubah praktek pengelolaan zakat di Indonesia saat itu.Kesadaran masyarakat untuk berzakat menjadi menurun dan sebagian lagi menyerahkan zakat mereka ke individu ulama dengan harapan mendapat syafaat dari Allah Yang Maha Kuasa.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah mulai ambil bagian dalam pengelolaan zakat.Hal itu ditandai dengan dibentuknya MIAI (Majlis ‘Islam Ala Indonesia).Pada tahun 1943, MIAI membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi.Gerakan secara massif pun dilakukan. Upaya-upaya itu rupanya tidak sia-sia, sebab dalam jangka waktu yang singkat, -hanya beberapa bulan saja-, Baitul Mal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang membubarkan MIAI.(Moch. Arif Budiman. “ Melacak Praktik Pengelolaan Zakat Di Indonesia Pada Masa Pra-Kemerdekaan,” JurnalKhazanah (IAIN Antasari, Banjarmasin), Vol. IV, No. 01, Januari-Februari 2005, hlm. 4-12 https://sepkymardian. wordpress. Com /2014/09/22/pengelolaan-zakat-di-indonesia-perspektif-sejarah-dan-regulasi/)
Dalam masa awal kemerdekaan pemerintah masih memilih tidak ikut campur dalam pengelolaan zakat. Pada tahun 1991 baru diterbitkan Surat Keputusan Bersama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990.
Baru setelah masuknya masa reformasi pemerintah mulai mengakomodasi pengelolaan zakat secara lebih serius.Pemerintah dan DPR mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun 1999.Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai masalah intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang ekonomi dan sosial.Dilanjutkan pada tahun 2001 setelah terbentuknya Badan Amil Zakat di tingkat pusat pemerintah mencanangkan Gerakan Sadar Zakat Nasional.Pada tahun 2011pemerintah memperbaharui peraturan pengelolaan zakat sesuai dengan kondisi yang ada dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan ditindanlanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014.
Dalam undang-undang tersebut ada persyaratan administratif yang tentang Pengelolaan Zakat.Misalnya amil harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan sebagainya.Walaupun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang."
Namun seiring telah berjalannya operasioonal BAZNAS yang sudah banyak aktif di sampai di tingkat kabupaten serta Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh organisasi masyarakat keagamaan dan telah mendapat izin resmi dari pemerintah maka secara hukum Islam, amil di masjid dan mushala harus mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh BAZNAS
Untuk mengetahui pihak yang berwenang mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat diketahui bahwa ada tiga Pengelola Zakat yang ada di Indonesia.Pertama adalah Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ Kabupaten.
Pengangkatan amil adalah kewenangan imam (penguasa tertinggi) seperti dalam definisi amil. Namun demikian, kewenangan itu bisa dilimpahkan kepada para pejabat pembantunya, yang ditunjuk untuk mengangkat amil–yang menurut PP  No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Status Kepanitiaan Zakat yang dibentuk atas Prakarsa Masyarakat Seperti di Pedesaan, Perkantoran, Sekolahan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat dan tidak diangkat oleh presiden atau pejabat yang diberi kewenangan olehnya, maka keduanya tidak berstatus sebagai amil syar'i.
Dalam rumusan Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim di Sidogiri, 09-10 Juni 2005 dinyatakan siapa yang dimaksud imam dalam kitab fiqih. Imam dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Kepala Pemerintahan dalam hal ini Presiden. Adapun terkait dengan pembentukan amil zakat adalah presiden dan orang-orang diberi wewenang membentuk amil.
Dalam bahtsul masail tersebut juga dinyatakan bahwa panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat tidak termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat selama belum mendapatkan SK atau izin dari lembaga yang berwenang.(http://www.hasilbahtsu. com/2005/06/amil- zakat.html)
Dari  pembahasan dan uraian di atas, maka kepanitian pengumpulan zakat, infaq-shodaqoh  dan distribusinya yang didirikan di masjid atau mushollah dapat dianggap illegal terutama di wilayah yang terjangkau oleh BAZNAS atau LAZ yang sudah banyak didirikan resmi di daerah-daerah sampaio tingkat kabupaten/kota. Bagi masjid atau musholla yang di daerahnya belum terjangkau BAZNAS atau LAZ masih bisa dibenarkan atau dianggap legal dengan syarat melaporkan kinerjanya kepada ionstansi terkait yang dalam hal ini adalah kantor urusan agama (KUA) di tiap kecamatan sebagai ujung tombak kementerian Agama RI yang membidangi urusan zakat.
Peran kantor urusan agama (KUA) sangat penting dan strategis dalam upaya meningkatkan kualitas ibadah rukun Islam yang ketiga setelah sholat. KUA institusi negara di bidang agama yang paling dekat dan bersentuhan langsung dengan masjid dan musholla. Peran KUA sangat dibutuhkan dalam menata pengelolaan zakat supaya lebih terarah dan akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Disamping itu juga sudah menjadi salah satu fungsi KUA sebagaimana dalam pasal 3 ayat 1 huruf h Peraturan Menteri Agama RI Nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama disebutkan bahwa KUA mempunyai fungsi pelayanan bimbingan zakat dan wakaf.Namun itu semua tergantung kemauan, kondisi dan situasi yang ada karena kondisi sumber daya manusia KUA di beberapa daerah sangat minim.
KUA bersama penghulu dan atau penyuluh agama Islam yang ada dapat berkoordinasi dengan BAZNAS atau LAZ yang ada dalam bimbingan dan penyuluhan zakat kepada para ta’mir masjid dan musholla.Bimbingan dilanjutkan pelatihan administrasi zakat kepada ta’mir masjid dan musholla dilakukan secara berkelanjutan sehingga pengelolaan zakat yang meliputi pengumpulan dan distribusinya berjalan dengan baik dan akuntabel. Tentunya kepanitiaan zakat yang sudah biasa terbentuk harus tetap dilibatkan dan disahkan dengan memberikan surat keputusan pengesahan (SK) sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) yang merupakan bagian dari  BAZNAS atau LAZ
Walaupun dalam struktur disebut sebagai unit pengumpul zakat  (UPZ) namun juga menjadi kepenjangan tangan BAZNAS atau LAZ dalam membantu distribusinya karena dalam fiqh zakat dijelaskan bahwa hasil pengumpulan zakat di suatu daerah lebih utama dibagikan ke mustahiq dio daerah asal perolehan zakat tersebut dan yang paling mengetahui  perihal mustahioq zakat adalah lembaga yang terdekat yaitu masjid dan musholla sekitarnya. Dengan demikian baik pengumpulan zakat infaq-shodaqoh maupun pendistribusian bisa lebih maksimal dan lebih tepat sasaran
Legalitas panitia zakat di masjid atau musholla dengan diangkat menjadi UPZ secara resmio dan sah dijadikan amil zakat baik secara syar’iy maupun sesuai aturan perundang-undangan yang ada berdampak meningkatnya pengumpulan zakat infaq-shodaqoh dan distribusi ZIS lebioh tepat sasaran.Peran KUA sangat ditunggu dan dinantikan oleh masyarakat khususnya dalam peniongkatan upaya pelaksanaan rukun Islam yang ke tiga ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar