Oleh:
Mohsen*
sumber ; https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/revitalisasi-suscatin-plus-sertifikasi-nikah-belajar-dari-bimwin-kemenag
"Baru sertifikatnya, buku nikahnya minggu depan hehehe. #bimbinganpranikah," tulis
Risa Saraswati pada caption foto dirinya dan calon suami sambil
memegang sertifikat yang ia bagikan di akun Instagramnya,
@risa_saraswati beberapa waktu lalu.
Risa Saraswati adalah pesohor dan sebagai calon pengantin yang
menganggap bimbingan pra nikah itu penting dan dibutuhkan untuk
mempersiapkan diri memasuki kehidupan barunya yaitu berumah tangga dan
berkeluarga. Karena menikah tidak sekadar mengakui keabsyahan secara
administrasi, tetapi bertanggung jawab secara moral agar kedua mempelai
memiliki bekal yang cukup dalam memasuki gerbang berumah tangga.
Itu jugalah yang sedang dipikirkan pemerintah bagaimana agar sebuah
keluarga bisa bertahan utuh selamanya untuk menghasilkan generasi yang
unggul agar negara bisa maju ke depannya. Sebuah bangsa bisa maju jika
masyarakatnya berpikiran maju. Dan masyarakat yang maju tentu harus
dimulai dari keluarga. Sehingga program ketahanan keluarga yang diemban
pemerintahan Presiden Joko Wododo sejak periode pertamanya menjadi
penting (Nawa Cita Nomor 5).
Program ketahanan keluarga kian penting jika disandingkan dengan angka
perceraian yang tinggi di Indonesia. Data Mahkamah Agung menyebutkan,
angka perceraian pada tahun 2018 sebanyak 419.268 pasang, di mana
307.708 kasus berdasarkan gugatan cerai dari pihak istri dan 111.490
kasus merupakan permohonan talak dari pihak suami. Perceraian antara
suami dan istri jelas menghambat perkembangan anak dan pada akhirnya
tujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul akan terganggu
dan terasa sulit.
Perceraian terjadi tentu memiliki sabab musababnya. Menurut data dari
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, faktor penyebab terjadinya
perceraian paling banyak dipengaruhi oleh percekcokan yang terjadi
secara terus menerus yang angkanya mencapai 150.574 pasang cerai (50
persen). Percekcokan yang berakibat pada perceraian ditengarai karena
minimnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban masing-masing suami
istri. Ketidaktahuan tersebut akibat tidak adanya atau minimnya bekal
yang diperoleh.
Sampai di sini, pembekalan yang diberikan kepada pasangan yang ingin
menikah menjadi penting dilakukan. Lantas bagaimana caranya? Bagaimana
merespon wacana Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tentang kewajiban sertifikasi
perkawinan? Sebelum menjawab hal itu ada baiknya kita melihat bagaimana
praktik bimbingan pra nikah yang sudah dilakukan oleh Kementerian Agama.
Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Bina KUA dan Keluarga
Sakinah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sebenarnya sejak
tahun 2017 telah melaksanakan kegiatan yang disebut dengan Bimbingan
Perkawinan (Bimwin), di mana kegiatan Bimwin ini merupakan revitalisasi
dari kegiatan serupa tapi tidak sama yang pernah dijalankan oleh Kemenag
sejak lama, yaitu Kursus Calon Pengantin (Suscatin). Mengapa disebut
revitalisasi? Karena konsep Suscatin dengan Bimwin berbeda.
Selama ini Suscatin hanya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan dengan waktu singkat dan materi yang terbatas, yaitu ansich
tentang bagaimana menikah dalam persfektif keagamaan yang fasilitatornya
juga terbatas dari KUA.
Sedangkan Bimwin calon pengantin (catin) berfokus pada memampukan
(enabling) catin untuk mengelola kehidupannya. Kemudian juga bagaimana
menjawab tantangan zaman seperti perceraian, konflik dan kekerasan,
stunting, kemiskinan, infeksi menular seksual, kesehatan, dan paparan
radikalisme.
Berbeda dengan Suscatin yang disampaikan secara monolog dalam bentuk
ceramah, Bimwin dilakukan dengan menggunakan pendekatan baru, yaitu cara
belajar orang dewasa seperti adanya simulasi, games dan berbagi
pengalaman dan mencari solusi permasalahan yang dibimbing oleh tenaga
fasilitator. Para fasilitator tersebut sebelumnya sudah mengikuti
bimbingan teknis dan memperoleh sertifikat.
Selama tiga tahun terakhir, Bimwin telah dilaksanakan di seluruh
Indonesia (34 provinsi).
Pelaksanaannya berada di KUA Kecamatan dan penanggungjawabnya adalah
Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten/Kota. Salah satu
materi yang diberikan adalah materi kesehatan reproduksi dan stunting
yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan (Puskesmas). Materi lainnya
pengetahuan agama dan peraturan perundangan, perilaku baik dan hidup
sehat, psikologi dan pengasuhan anak dan materi lainnya yang terkait
dengan kiat-kiat membangun dan membentuk keluarga sakinah atau keluarga
bahagia yang bekerja sama dengan BKKBN dan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dalam Bimwin ini, calon pasutri juga dibekali buku Fondasi Keluarga
Sakinah sebagai bahan bacaan mandiri. Setelah berumah tangga, mereka
dapat mengikuti Bimbingan Masa Nikah, yaitu membangun relasi harmonis
dan mengelola keuangan keluarga. Jika rumah tangga bermasalah, KUA juga
menyediakan layanan konsultasi dan pendampingan. Untuk mencegah
terjadinya perkawinan anak, pada KUA juga ada program bimbingan remaja
untuk cegah kawin anak. Kemudian ada juga bimbingan remaja usia nikah
dan moderasi beragama berbasis keluarga.
Target catin yang memperoleh Bimwin saat ini masih sekitar tujuh sampai
sepuluh persen per tahun atau sekitar 60.000 - 100.000 pasangan. Bimwin
diampu oleh 2.000 fasilitator yang terdiri dari penghulu, penyuluh, dan
perwakilan dormas Islam diantaranya Muslimat NU, Aisyiyah dan Wanita
Islam. Jika dihitung jumlah catin yang menikah setiap tahun sebanyak 2
juta pasang, maka jumlah ini jauh dari harapan. Sebab anggaran yang
dibutuhkan untuk melaksanakan Bimwin sebanyak 2 juta pasangan calon
pengantin membutuhkan Rp800 miliar per tahun.
Selain memberikan materi bimbingan perkawinan secara tatap muka, Kemenag
juga tengah menyiapkan website Bimwin yang bisa dikunjungi oleh
masyarakat setiap waktu dan di mana saja. Pada website Bimwin tersebut
terdapat menu-menu berupa materi bimbingan (dalam bentuk buku dan
artikel) dan menu curhat bagi siapa saja yang ingin curhat masalah rumah
tangga, hukum perkawinan, masalah keuangan keluarga, dan kesehatan.
Proyek ini diinisiasi dan dibuat oleh Direktorat Bina KUA dan Keluarga
Sakinah Kementerian Agama dan mendapat respon positif dari Kemenko PMK.
Sekarang dalam proses pengembangan karena akan diperuntukkan buat semua
umat beragama dan bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait
seperti BKKBN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dan lain-lain.
What’s next?
Setelah penulis uraikan peran Kementerian Agama dalam upaya melaksanakan
program ketahanan keluarga, lantas bagaimana kemudian kita menanggapi
wacana sertifikasi perkawinan tersebut. Perlu diketahui, 100ribu pasang
catin yang telah mengikuti Bimwin di KUA juga memperoleh sertifikat.
Namun, Kemenag belum menjadikan sertifikat Bimwin tersebut sebagai salah
satu syarat administrasi untuk menikah karena hal itu bukan kewajiban.
Kemenag sejatinya menyambut baik rencana sertifikasi perkawinan tersebut
karena memang bertujuan baik untuk ketahanan keluarga. Apalagi Kemenag
sudah memulainya sejak tahun 1990-an yang kemudian direvitalisasi pada
tahun 2017. Tentu ke depan apabila program Bimwin ini dilaksanakan
secara nasional dan untuk semua warga Negara tanpa membedakan agama,
maka sudah bisa dipastikan akan membutuhkan anggaran yang sangat besar.
Sebab selama ini untuk menyasar dua juta catin yang beragama Islam saja,
Kemenag kewalahan. Apalagi jika hanya mengharapkan anggaran dari
pendapatan negara bukan pajak yang berasal dari pencatatan peristiwa
nikah atau rujuk di KUA yang hanya menghasilkan Rp600 miliar per tahun,
di mana dana tersebut juga harus dibagi kepada kegiatan selain Bimwin.
Selain anggaran, tentu yang harus dirumuskan adalah mengenai durasi
waktu pembekalan. Jika menilik waktu yang disampaikan oleh Menko PMK
selama tiga bulan, tentu harus dipikirkan ulang. Sebab selama ini yang
dilakukan Kemenag selama dua hari berturut-turut sulit dipenuhi oleh
calon suami istri. Alasannya terbentur soal waktu dan pekerjaan karena
harus meninggalkan pekerjaan yang izinnya tidak mudah diperoleh. Lagi
pula, jika dilaksanakan sampai tiga bulan, maka hal itu akan melanggar
prinsip pelayanan prima yang mengandaikan efektifitas, tidak
bertele-tele, cepat, mempermudah dan menyederhanakan pelayanan.
Menurut hemat penulis, sembari memikirkan dari mana anggaran
penyelenggaran Bimwin ini diperoleh, yang perlu dilakukan saat ini
adalah bagaimana membuat masyarakat merasa membutuhkan bimbingan
perkawinan baik pra nikah, usia masa nikah, dan masa nikah agar keluarga
mereka berjalan harmonis dan tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginan. Jika masyarakat sudah merasa butuh, maka skema pembiayaan
penyelenggaraan Bimwin bisa dilakukan secara patungan.
Jika dari segi pembiayaan masih sulit dilakukan, ada baiknya
mempertimbangkan materi bimbingan perkawinan dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah di tingkat akhir sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)
dan di perguruan tinggi semester akhir. Langkah ini cukup efektif
memperkenalkan hal-hal yang terkait dengan perkawinan yang tentu nanti
materinya dikemas dalam formula yang tepat. Wallahu a’lam bis shawab.
*
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah
Editor : Khoiron