Serang, Bimas Islam -- -Menteri Agama Fachrul Razi menyapa ratusan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan se Provinsi Banten di Serang. Para Kepala KUA ini disebut Kakanwil Kemenag Banten sebagai Menteri Agama tingkat Kecamatan karena tugas berat yang diembannya.
Sala satu tugasnya adalah menghalalkan yang haram. Maksudnya, menghalalkan hubungan lawan jenis melalui proses pernikahan.
Menag Fachrul mengingatkan bahwa tugas KUA mengalami perluasan. Tidak semata mengurus administrasi pencatatan nikah, tapi ada peran besar terkait penyiapan generasi bangsa ke depan. Peran tersebut terkait penanganan masalah stunting, penguatan moderasi beragama, dan pencegahan korupsi.
"Tugas menikahkan misinya meluas, tidak hanya membina keluarga sakinah dari aspek agama, tapi juga masalah kesehatan dan pembangunan generasi bangsa. Penanganan stunting menjadi salah satu aspek utama karena angkanya sangat tinggi," terang Menag Fachrul Razi di Serang, Kamis (20/02).
Hadir, Kakanwil Kemenag Provinsi Banten, Ditektur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, para Kabid dan Kepala Kankemenag Kab/Kota, serta Kepala KUA se Provinsi Banten.
"Kita tidak ingin punya generasi yang kuntet dan tidak bisa dikembangkan lagi, baik fisik maupun intelektual, karena kurang ada bimbingan yang baik, sejak menikah hingga membina keluarga," lanjutnya.
Menag berpesan bahwa masa depan akan penuh persaingan. Karenanya, KUA harus ikut mempersiapkan lahirnya generasi bangsa berkualitas. Kemenag akan ikut berperan memberikan edukasi kepada calon pengantin tentang bahaya stunting melalui penguatan bimbingan perkawinan atau bimwin.
Ada empat "terlalu" yang akan terus dikampanyekan. Jangan terlalu muda menikah. Jangan terlalu tua menikah. Jangan terlalu rapat jarak melahirkan. Dan jangan terlalu sering melahirkan.
"Ke depan, kita ingin bimwin bisa dimanfaatkan untuk memberikan bimbingan teknis terkait kesehatan," pesannya.
Hal kedua yang diingatkan Menag terkait penguatan moderasi beragama. Menag minta KUA menjadi ujung tombak dalam tugas ini. "Kita tidak boleh bosan untuk terus mengajak orang agar toleran dan menghargai orang lain," pesannya.
Terakhir, Menag berpesan tentang pemberantasan korupsi. Menag menegaskan bahwa tidak boleh ada transaksi hutang budi, baik dalam lelang pekerjaan maupun lelang jabatan. Siapapun pemenang lelang pekerjaan, dia hanya berhutang pada negara dan itu harus dibuktikan dengan kualitas kerja.
Demikian juga soal jabatan, amanah diberikan melalui lelang terbuka dan atas pilihan kualitas dan kompetensi terbaik.
"Yang dilantik bukan karena alasan sayang, tapi karena dipandang bahwa dialah yang terbaik untuk duduk di jabatan tersebut. Jadi tidak ada hutang budi atau hutang setoran," tandasnya.
sumber berita :
https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/bertemu-menag-kecamatan-menteri-agama-ingatkan-pencegahan-korupsi-dan-stunting
Kamis, 20 Februari 2020
Ini Empat Pokok Pembahasan Omnibus Law Jaminan Produk Halal
Jakarta (Kemenag) --- Undang-undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal termasuk yang dibahas dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Beberapa pasal di dalamnya, terdampak dalam pembahasan penyusunan RUU tersebut.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki mengaku pihaknya ikut terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Pembahasan yang melibatkan pihak Kemenko Perekonomian, Kemenkeu dan Kementerian/Lembaga terkait ini sudah berlangsung hingga pertengahan Januari 2020.
Menurut Mastuki, dalam serangkaian pembahasan yang telah dilakukan, omnibus Law dalam konteks jaminan produk halal ditekankan pada empat hal. Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal. “RUU Omnibus Law ini semangatnya pada percepatan waktu proses sertifikasi halal, baik di BPJPH, MUI, maupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Jadi harus ada kepastian waktu,” jelas Mastuki di Jakarta, Selasa (21/01).
Kedua, pembebasan biaya bagi usaha mikro dan kecil (UMK) saat akan mengurus sertifikasi halal. “Istilah yang muncul dalam pembahasan adalah di nol-rupiahkan. Di UU JPH sebelumnya menggunakan istilah ‘fasilitasi bagi UMK’,” terangnya.
Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyelia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. "Sejumlah persyaratan, prosedur, dan mekanismenya akan disesuaikan", tambahnya.
Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. “Arahnya bagaimana mendorong pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Jadi pendekatan yang dikedepankan adalah persuasif dan edukatif. Karena itu, dalam pembahasan kami menghindari sanksi pidana, hanya sanksi administratif,” ujarnya.
Mastuki mengaku ada banyak pasal dalam UU 33 tahun 2014 yang dibahas dan akan mengalami penyesuaian. Beberapa pasal dimaksud antara lain: pasal 1, 7, 10, 13, 14, 22, 27-33, 42, 44, 48, 55, 56, dan 58.
“Pasal 4 tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk, tidak jadi pembahasan,” tandasnya.
sumber berita : https://kemenag.go.id/berita/read/512610/ini-empat-pokok-pembahasan-omnibus-law-jaminan-produk-halal
Mengurai Benang Kusut Sertifikasi Halal
Mastuki HS
Ada yang kurang tepat memahami Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 982 tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal. KMA yang ditandatangani Menteri Agama Fachrul Razi 12 November 2019 lalu dipersepsi sebagai mengembalikan kewenangan sertifikasi halal kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal jika disimak baik-baik klausul KMA tersebut, jelas bahwa KMA ini dikeluarkan dalam kerangka diskresi akibat belum keluarnya peraturan mengenai tarif layanan sertifikasi halal yang menjadi domain Kementerian Keuangan.
Loh, kenapa harus Kemenkeu? Iya, karena BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) yang diamanahi menyelenggarakan sertifikasi halal berstatus sebagai Satuan Kerja Badan Layanan Umum (Satker-BLU). Seluruh biaya sebagai imbalan atas layanan yang dikeluarkan oleh BPJPH harus mendapat persetujuan Kemenkeu yang dituangkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang tarif (periksa PP nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelola Keuangan Badan Layanan Umum, jo PP 74 tahun 2012 Pasal 9).
Jadi, KMA 982 bukan hendak mengembalikan otoritas sertifikasi halal kepada MUI, melainkan solusi hukum atas belum terbitnya PMK tentang tarif layanan sertifikasi halal. Otoritas sertifikasi halal saat ini bersifat distributif, terbagi dengan kewenangan masing-masing antara BPJPH, MUI dan LPH (saat ini baru ada LPPOM-MUI). Karena itu, kalau tidak dikeluarkan KMA, berpotensi mengganggu kelancaran layanan sertifikasi halal dan merugikan pelaku usaha. Dikarenakan dalam proses pengajuan sertifikasi halal selama ini seperti dilakukan oleh MUI dan LPPOM-MUI dikenakan biaya, dan biaya itu ditanggung oleh pelaku usaha, KMA ini memberi kepastian tatacara dan prosedur, serta penghitungan biaya mengacu kepada ketentuan yang berlaku di MUI dan LPPOM-MUI. Penetapan MUI dan LPPOM-MUI dalam konteks acuan biaya ini mendapat justifikasi kuat dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 31 tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal (periksa Ketentuan Peralihan di Pasal 81).
Persepsi lain yang muncul di publik terkait KMA 982 adalah seolah Kementerian Agama (BPJPH) menganakemaskan MUI dan LPPOM-MUI, menafikan otoritas lembaga lain yang barangkali memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa dan/atau memeriksa/menguji kehalalan suatu produk. Salah satu poin pernyataan tertulis dari PBNU yang menilai penerapan UU JPH memberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI untuk menerbitkan fatwa, secara mikro dapat dilihat dari kacamata ini. Sementara reaksi terhadap LPPOM-MUI datang dari calon LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) baik dari unsur masyarakat maupun perguruan tinggi negeri dan kementerian/lembaga. Mereka yang sedang mengajukan pendirian LPH ke BPJPH sejak beberapa bulan lalu kuatir tak bisa beroperasi karena kewenangan memeriksa produk telah diberikan ke LPPOM-MUI. Kemasygulan itu bertambah karena calon auditor halal yang dimiliki calon LPH, dan telah lulus diklat calon auditor halal, harus mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan LPPOM-MUI. Itu dianggap monopoli. Padahal prasyarat mendirikan LPH, salah satunya adalah tersedianya minimal 3 (tiga) auditor halal. “Kalau harus uji kompetensi dengan prosedur yang lama dan berbiaya lagi, mana belum tentu lulus, bagaimana mungkin LPH berdiri”, kira-kira begitu argumen yang kerap terdengar.
Persepsi di atas tak sepenuhnya salah, meski tak bisa dikatakan benar. Karena sejak awal posisi MUI sudah jelas. UU dan PP tentang JPH menetapkan kerjasama BPJPH dengan MUI meliputi 3 (tiga) hal: sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk (melalui sidang fatwa), dan akreditasi LPH. Sedangkan LPPOM-MUI sebagai LPH berwenang dalam melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Kedudukan unik dan khusus bagi MUI dan LPPOM-MUI dalam regulasi JPH ini kerap disalahfahami, dan bisa menimbulkan mispersepsi pihak lain, di samping tentu karena secara historis MUI dan LPPOM-MUI berada dalam satu rumah, dan secara faktual mereka terlibat dalam pelaksanaan sertifikasi dan jaminan produk halal bertahun-tahun sejak 1990-an.
Mendasarkan faktualitas dan historisitas itulah makanya Peraturan Menteri Agama (PMA) no 26 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal mengakui dan memperkuat posisi MUI dan LPPOM-MUI hatta kegiatan yang sudah berjalan selama ini terkait auditor halal atau LPH (periksa Ketentuan Peralihan, Pasal 232). Tiga “aktor” inilah yang disebut dalam KMA 982 sebagai penyelenggara layanan sertifikasi halal: BPJPH, LPH (LPPOM-MUI) dan MUI dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing, namun dalam satu kesatuan layanan, interdependensi, dan terkordinasi. Proses sertifikasi halal akan mandeg jika BPJPH tidak menerima pendaftaran/permohonan pengajuan produk dari pelaku usaha. Sebaliknya, sertifikat halal tak bisa keluar atau dikeluarkan oleh BPJPH sebelum dipastikan proses kehalalan produknya oleh LPPOM-MUI dan ditetapkan melalui keputusan fatwa halal oleh MUI.
Sampai di sini penjelasannya harusnya clear. Namun bagi pihak yang tak terbiasa dengan dunia birokrasi, prosedur dan tatacara layanan sertifikasi halal yang melibatkan para aktor tersebut bisa dianggap merepotkan, menambah panjang prosedur, berbelit-belit, bahkan menyusahkan atau menghambat dunia usaha. Meski peran masing-masing aktor jelas, tapi karena tidak dalam satu rumah, ada kendala komunikasi, koordinasi, relasi, mekanisme kerja, egoisme sektoral, dan soal non-teknis lain yang tak mudah diatasi masing-masing pihak. Setidaknya yang terbayang di pelaku usaha adalah keruwetan urusan. Belum lagi, sampai hampir dua setengah bulan sejak pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal, belum ada satu pun sertifikat halal yang dikeluarkan BPJPH.
Problemnya ada di mata-rantai layanan yang belum terhubung dan terkoneksi satu sama lain. BPJPH merasa sudah membuka layanan konsultasi dan membuka pendaftaran sertifikasi halal, baik di pusat maupun Satgas Daerah di Kanwil Kemenag (via Pelayanan Terpadu Satu Pintu, PTSP). Semua usaha dikerahkan menghadapi hujan pertanyaan para pelaku usaha yang tiap hari mendatangi PTSP. Trial and error pun dilakukan. Namanya juga hal baru dan belum ada pengalaman sebelumnya bagaimana melayani pelaku usaha dengan berbagai keperluan: ada yang mau konsultasi, ada yang mengajukan produk untuk sertifikasi halal, ada yang coba-coba bertanya ini-itu, dan beberapa hanya ingin tau kesiapan BPJPH. Sementara LPPOM-MUI bersikap wait and see, mau melakukan audit (nomenklatur resminya: pemeriksaan dan/atau pengujian produk) kalau sudah ada surat pengantar dari BPJPH bahwa produk itu sudah diajukan via BPJPH. Mereka patuh pada regulasi bahwa per 17 Oktober 2019 sudah bukan ranahnya menerima pendaftaran atau pengajuan sertifikasi halal. Sementara MUI (terutama Komisi Fatwa) akan bersidang tergantung hasil audit yang dilakukan LPPOM-MUI, by request. Satu aktor dengan lainnya saling bergantung, saling menunggu, dan mengambil jurus ‘sungkan’, kadang baper. Situasi tak menentu itu sempat dirasakan antar-aktor di awal-awal layanan dan berpengaruh terhadap ketidakpastian waktu layanan.
Masalah tak berhenti di situ. Saat ratusan dokumen pelaku usaha siap dibawa ke LPPOM-MUI untuk dilakukan audit, BPJPH terkendala soal biaya/tarif layanan yang tak kunjung ditetapkan Kemenkeu. Komponen pendaftaran, pemeriksaan produk, sidang fatwa sampai penerbitan sertifikat halal, semua ada biayanya. BPJPH bisa memutuskan pendaftaran gratis, tapi bagaimana LPPOM akan mengaudit kalau mereka harus mengeluarkan biaya untuk auditor halal dan biaya operasional lainnya. Begitu juga dengan sidang fatwa. Karena belum jelas aturan tarifnya, petugas BPJPH gamang melangkah, Satgas di daerah bertanya-tanya, LPPOM-MUI tak bisa menjawab, ditanyakan ke MUI merasa bukan kewenangannya. Ya sudah, “tanyakan saja pada rumput yang bergoyang”, saran Ebiet G. Ade.
Soal tarif ini menjadi isu liar dan menjadi bahan ledekan di kalangan pelaku usaha dan juga kritikan media. BPJPH dianggap tak siap dan tak serius. Kemenkeu kena rundung juga karena kurang sigap menyiapkan PMK. Terhadap situasi ini, ada yang membandingkan kenapa sertifikasi halal tak dikembalikan seperti semula saja. Satu pintu. Satu layanan. Pendaftaran online pake Cerol. Lebih mudah dan simpel. Benar sih, tapi ada yang nyeletuk begini: “kalau mau mengembalikan seperti sebelumnya, ngapain ada BPJPH? Ngapain pula capek-capek merumuskan pasal-pasal UU dan PP yang rigid mengatur prosedur sertifikasi halal.” Bahkan ada yang ngeledek: bayi yang sudah lahir jangan disesali. Jangan pula menyalahkan bunda yang mengandung. Salahkan ayah kenapa berbuat begitu? Hehe…
Belum reda dan mendapat way out yang tepat, soal biaya sertifikasi halal justru menjadi salah satu Quick Wins (program percepatan) pemerintah dan masuk “radar” Omnibus Law. Dua hal penting wacana Omnibus Law adalah pertama, penyederhanaan proses layanan, dan kedua, pembebasan biaya bagi UMKM. Dalam konteks sertifikasi halal, wacana ini sangat mendasar. Terutama usaha mikro dan kecil, atau UMKM, yang menurut data tak kurang mencapai 64,2 juta. Nah lo… Separuhnya saja dari jumlah itu masuk kategori pelaku usaha mikro dan kecil yang wajib bersertifikat halal, bisa dibayangkan berapa triliun dana yang harus disiapkan untuk pembebasan biaya tersebut. Tak pelak, Omnibus Law ini seakan menyasar langsung ke “jantung” layanan sertifikasi halal, yang dirasakan dan terjadi di lapangan, namun belum mendapat wangsit cara memecahkannya. Omnibus laiknya angin sepoi-sepoi, tapi meninabobokkan.
Konteks menyebut Omnibus Law penting dikemukakan karena akan menjadi “payung” hukum bagi UU yang menjadi sasaran. Salah satunya adalah UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal-pasal tertentu dalam UU yang implementasinya baru dimulai 17 Oktober 2019 ini termasuk dalam pembahasan Omnibus Law yang akan direvisi atau disesuaikan. Salah duanya mengenai prosedur sertifikasi halal yang melibatkan tiga aktor di atas dan pembiayaan sertifikasi halal bagi usaha mikro dan kecil, yang dalam UU disebut “dapat difasilitasi oleh pihak lain” (UU JPH, Pasal 45).
Penyederhanaan proses sertifikasi halal menyebabkan keharusan: a) merumuskan ulang bagaimana para aktor bekerja dan melayani pelaku usaha secara mudah, accessible, transparan, jelas waktunya, dan b) menyediakan sistem yang dapat mempercepat layanan secara terintegrasi. Sedangkan pembiayaan yang akan digratiskan meniscayakan kaji ulang terhadap skema pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil yang akan dibebaskan. Subsidi-kah atau menyediakan cash money? Lebih dari itu, dalam konteks BPJPH sebagai BLU, rencana pembebasan biaya bagi UKM pastilah mengubah pola pencatatan keuangan antara penerimaan dan pengeluaran. Di samping itu BPJPH mesti merumuskan mekanisme pengaturannya secara detil dan teliti. Mengakomodir kepentingan BPJPH sebagai BLU, di sisi lain harus menegaskan kehadiran dan keberpihakan negara untuk pemberdayaan UMKM yang, dalam konteks kewajiban bersertifikat halal, mau tak mau harus dilayani dan dibebaskan dari biaya.
Keunikan sertifikasi halal, dibandingkan dengan layanan sertifikasi di kementerian lain, adalah karena ada lembaga non-negara, dalam hal ini MUI, yang terlibat di dalamnya. Berkaitan dengan pemeriksaan/audit dan sidang fatwa yang dilaksanakan MUI, ada biaya jasa dan biaya lain yang tak bisa dianggarkan melalui APBN/APBD. Diskusi BPJPH bersama Direktorat PK-BLU Kemenkeu melibatkan LPPOM-MUI dilakukan berkali-kali untuk menemukan formula yang tepat seperti apa pembiayaan yang tepat dan pasti. Namun, lagi-lagi, sertifikasi halal tidak sama dengan labelisasi halal. Maksudnya, dalam proses sertitikasi halal ada beragam jenis produk (barang dan jasa) dan beragam jenis pelaku usaha (besar-menengah-kecil-mikro) yang dalam penetapan biayanya sangat variatif tergantung sejumlah faktor: kompleksitas dan titik kritis bahan, risk-no risk-high risk; lokasi atau tempat usaha; man-days berapa auditor halal yang memeriksa, berapa lama; dan seterusnya.
Penghitungan biaya semacam itu menyulitkan membuat formula yang fix untuk menentukan berapa sih biaya sertifikasi halal untuk produk A, B, atau C. Padahal kepastian besaran biaya ini sangat diperlukan oleh Kemenkeu maupun BLU untuk menghitung secara tepat berapa kebutuhan yang diperlukan untuk membiayai UMK jika digratiskan. Alasan yang mengemuka, tak semua produk UMK itu beresiko rendah, malahan banyak yang beresiko tinggi (high risk) dari sisi kehalalan produknya. Makanya, meski produk itu dari UMK tak berarti cukup hanya diperiksa oleh satu auditor. Bisa jadi harus dilakukan uji laboratorium, yang membutuhkan biaya tambahan.
Itulah ilustrasi betapa rumitnya menentukan tarif sertifikasi halal dikaitkan dengan rencana Omnibus Law. Meski sejatinya LPPOM-MUI sudah memiliki pedoman penetapan biaya sertifikasi halal yang berlaku di internal mereka. Penetapan biaya itulah yang dimaksud KMA 982 untuk digunakan sebagai pedoman selama PMK tarif belum keluar. Itulah diskresi yang dimaksud. Namun, penetapan biaya LPPOM-MUI itu tak dengan sendirinya ekuivalen dengan skema pembiayaan yang akan diterapkan saat BPJPH sebagai BLU harus meng-cover pembebasan biaya bagi UMK dalam konteks Omnibus Law.
Saatnya Move On
Kita tinggalkan Omnibus Law yang saat ini terus menggelinding dan menjadi “pekerjaan kantor” Kemenko Perekonomian dan kementerian terkait. BPJPH dan unit Kemenag lain termasuk yang kerap diundang untuk membahas Omnibus Law ini. Beberapa pasal yang menjadi ‘halangan’ penerapan kemudahan berusaha dan pemberdayaan UMKM sudah dikaji dan diajukan draf perubahannya. Dan sesuai rencana, awal tahun ini sudah akan diajukan ke DPR untuk dibahas.
Sembari menunggu perkembangan Omnibus Law lebih lanjut, layanan sertifikasi halal tak boleh berhenti. Semangat pelaku usaha untuk mengajukan produknya bersertifikat halal sangat antusias. Terlihat dari tingkat kunjungan mereka ke BPJPH Pusat dan Satgas Daerah untuk konsultasi, bertanya soal mekanisme dan prosedur sertifikasi halal, sampai minggu perdana Januari 2019 tak kurang 2.050 orang. Sementara dokumen produk yang teregistrasi dan dinyatakan memenuhi syarat oleh BPJPH sudah mencapai 413 berkas. Dokumen ini sudah diteruskan ke LPPOM-MUI untuk dilakukan pemeriksaan atau audit. Tingginya animo masyarakat untuk mensertifikasi halal produknya menandakan bahwa sosialisasi dan literasi halal makin membaik. Diumumkannya kewajiban bersertifikat halal oleh pemerintah sejak 17 Oktober 2019 lalu melalui berbagai kanal informasi dan media juga menjadi pemicu antusiasme pelaku usaha untuk segera mendaftarkan produknya disertifikasi halal.
Langkah-langkah ke arah perbaikan dan percepatan layanan sertifikasi halal sebenarnya dapat momentum dengan Omnibus Law. Meski seiring waktu layanan dimulai, para aktor sebenarnya telah melakukan komunikasi dan approachment untuk mencari jalan keluar dan mengurai benang kusut antar pihak yang bertanggung dalam proses sertifikasi halal ini. BPJPH, LPPOM-MUI, dan Komisi Fatwa MUI. Beberapa kali pertemuan formal dan informal digelar, FGD dan RDK (Rapat Dalam Kantor, istilah yang digunakan kantor pemerintahan untuk rapat pada jam kerja) beberapa kali. Terakhir dilaksanakan Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas) Layanan Sertifikasi Halal di Ancol, 9-11 Desember 2019 yang melibatkan BPJPH, Satgas Daerah (Kanwil Kemenag), pimpinan LPPOM-MUI, dan pimpinan Komisi Fatwa seluruh Indonesia.
Rakornas menyepakati beberapa hal penting, terutama komitmen melaksanakan layanan sertifikasi halal secara bersama, mempertimbangkan kemudahan, akses pelaku usaha, cepat, dan transparan. Meski ada usulan teknis masih mengalami ganjalan, yakni format sertifikat halal dan label halal yang belum berhasil disepakati. Kalimat terakhir ini berpotensi menjadi kendala baru jika tak cepat dicarikan solusinya. Upaya win-win solution di forum Rakornas belum menemukan titik temu. Masing-masing pihak menyampaikan pandangannya berdasarkan argumen yang rasional, merujuk regulasi yang ada, pertimbangan historis-sosiologis, kepentingan masyarakat dan pelaku usaha, dan juga perlunya membuat momentum dan transformasi layanan halal Indonesia dalam konteks percaturan halal dunia. Sertifikat halal dan label halal, menurut masing-masing pengusul, tak bisa hanya dilihat sekedar “selembar kertas” atau simbol, melainkan ada nilai historis, strategis, sosiologis, ekonomis, bahkan ideologis. Apalah argumennya, jalan keluar yang ditunggu publik.
Saatnya move on. Lepas dari plus-minusnya, pro-kontranya, UU dan PP tentang jaminan produk halal memberikan perspektif optimis tentang apa, siapa, mengapa, kapan, dan bagaimana penyelenggaraan halal dilaksanakan. Rumus 4W1H pastilah terjawab. Kepentingan umat, masyarakat, dunia usaha, dan kepentingan nasional di atas segalanya. Terlalu mahal kalau gara-gara miskomunikasi dan adu-argumen antar aktor menyebabkan layanan sertifikasi halal tak maksimal, bahkan bisa jalan di tempat. Butuh kerelaan hati semua pihak dan menerimanya secara legowo. Berpatokan pada regulasi oke, tapi maslahah ‘ammah juga penting. Antar aktor penyelenggara sertifikasi halal harus duduk bersama dan menyelesaikan masalahnya secara tuntas-tas-tas. Secepatnya, bukan lagi berdalih “sedang kami laksanakan atau kordinasikan”. Tak ada masalah yang tak bisa dipecahkan, jika mau. Bukankah Pancasila mengajarkan musyawarah mufakat. Al-Qur’an pun demikian: wasyawirhum fil ‘amri.
Ekspektasi masyarakat kadung tinggi terhadap layanan halal. Pengajuan permohonan dari pelaku usaha bertambah terus setiap hari, dan mesti diproses oleh para aktor: audit oleh LPH dan dilanjutkan sidang penetapan kehalalan produk oleh MUI. Ending-nya penerbitan sertifikat yang dikeluarkan BPJPH. Pelaku usaha menerima sertifikat halal sekaligus label (logo) halal yang akan dicantumkan di kemasan atau bagian tertentu dari produk. Mereka pasti membayangkan mendapatkan sertifikat halal secepatnya, sekaligus bukti sebagai warga negara yang patuh melaksanakan kewajiban undang-undang.
Omnibus Law yang saat ini diwacanakan pemerintah perlu dijadikan momentum untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan umat. Mengedukasi mereka pentingnya jaminan produk halal. Kecepatan layanan, kemudahan, biaya yang terjangkau bagi pelaku usaha adalah poin-poin penting yang kerap ditekankan Presiden Jokowi. “Negara harus hadir” menjadi semacam mantra yang perlu diterjemahkan secara kongkrit dalam layanan halal. Menteri Agama Fachrul Razi dalam beberapa kali pertemuan selalu menekankan: “manfaatkan Omnibus Law dengan sebaik-baiknya untuk perbaikan layanan Kemenag”.[]
Mastuki HS.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH Kemenag RI
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH Kemenag RI
Kamis, 13 Februari 2020
Bertemu Kyai NU Jatim, Menag Minta Nasihat dalam Membina Umat
Surabaya (Kemenag) --- Menag Fachrul Razi dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Timur menyempatkan diri bersilaturahim dengan jajaran Pengurus Wilayah Nadhalatul Ulama (PWNU) Jawa Timur di Surabaya.
Kepada para Kyai NU dan pengurus PWNU Jatim, Menag menyatakan kunjungannya ke Kantor PWNU Jatim, di Jalan Masjid Al-Akbar Timur 9 Surabaya itu tidak sekadar silaturahim, melainkan juga meminta nasehat dan saran dalam membina umat dan toleransi beragama di tanah air.
"Saya datang bukan untuk memberikan ceramah melainkan meminta masukan dan nasihat terutama dari para Kyai yang sudah berpengalaman dalam membina umat dan kerukunan," kata Menag, Kamis (13/02). Kunjungan Menag ke PWNU Jatim disambut Wakil Rais Suriah PWNU Jawa Timur KH Anwar Iskandar, Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar, KH Abdurrahman Nafis dan jajaran pengurus.
Turut mendampingi Menag, Kakanwil Kemenag Jawa Timur Ahmad Zayadi, Sesditjen Pendidikan Islam Imam Safei, Staf Khusus Menag Ubaidilah dan Sesmen Khoirul Huda Basyir.
Pertemuan dengan pengurus PWNU Jatim digelar usai Menag berkunjung ke Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dan Gereja Sakramen Mahakudus.
Dalam kunjungan silaturahim ke PWNU Jawa Timur, Menag pun meminta saran dan nasehat kepada para para Kyai, khususnya dalam mengemban tugas sebagai Menteri Agama. Menag juga bercerita tentang NU (Kyai) santri dan tentara yang tidak bisa dipisahkan dalam membangun umat dan kebangsaan.
"Kami mengemban tugas dan memberi perhatian khusus kepada kerukunan umat beragama, kedamaian, dan semangat toleransi. Salah satu ormas yang paling tepat menjadi patner Kementerian Agama dalam mewujudkan itu ya NU," kata Menag.
Menag tidak lupa membahas soal UU Pesantren yang turunannya tengah digodok oleh tim Kemenag, begitu juga dengan peraturan bersama Menteri terkait pendirian rumah ibadah.
Wakil Rais Suriah PWNU Jawa Timur KH Anwar Iskandar menyatakan hubungan NU, Kyai, Santri dan tentara dan itu merupakan fakta sejarah. "Ada sebagian Kyai sepuh mengatakan makna dari Nusantara itu merupakan perpanjangan NU, Santri, dan Tentara. Inilah jaminan NKRI akan terus berjalan. Nasionalisme adalah bagian dari imam. Hubul waton minal Imam," ujar KH Anwar Iskandar.
Ia menambahkan, di pesantren mulai dari taman kanak kanak hingga kelas tertinggi sudah ditanamkan tentang bela negara. "Dalam konteks seperti inilah maka hari ini kita bertemu dengan Menag yang menurut UU ditugasin mengatur kehidupan beragama, pendidikan dan sebagainya," kata KH Anwar. KH Anwar menambahkan dibutuhkan sinergitas antara seluruh elemen NU supaya tugas yang menjadi amanah Kemenag dan tugas ulama yang mendapat amanah dari Allah bisa berjalan dengan baik.
"Kalau sinergisitas bisa kita jalankan dengan baik maka wajib hukumnya bagi NU menjaga lembaga negara seperti Kemenag," tegasnya.
"Ide pak menteri sering digoreng sampai gosong dan alhamdulillah NU tidak terjebak dan ikut ikutan. Sebab bagi kami, Menag mempunyai misi penting menyelamatkan negara dan agama," tandas KH Anwar.
https://kemenag.go.id/berita/read/512770/bertemu-kyai-nu-jatim--menag-minta-nasihat-dalam-membina-umat
BROSUR KUA KEC. DUDUKSAMPEYAN KAB. GRESIK (PERSYARATAN DAFTAR NIKAH DAN PELAYANAN LAINNYA)
KEMENTERIAN AGAMA
REPUBLIK INDONESIA
KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN GRESIK
KANTOR URUSAN AGAMA
KECAMATAN DUDUKSAMPEYAN
Jalan Raya Duduksampeyan Nomor 33
Gresik
(031) 3903351 email ; kua.duduksampeyan@gmail.com
Kami melayani ; (PMA
34/2016)
1.Pendaftaran Kehendak Nikah &
Pelaksanaan Akad Nikah
2.Bimbingan Perkawinan, Keluarga Sakinah
& Calon Pengantin, Penasehatan Problematika Keluarga/ BP4.
3.Legalisasi Dokumen Perkawinan
4.Bimbingan Kemasjidan, Bimbingan Hisab
Rukyat & Pembinaan Syari’ah
5.Bimbingan Penerangan Agama Islam
6.Bimbingan Zakat & Wakaf , Akta Ikrar
Wakaf & Pembinaan Nazhir
7.Bimbingan Manasik Haji
VISI
Terwujudnya masyarakat Kecamatan Duduksampeyan
yang taat beragama, maju, sejahtera dan saling menghormati antar sesama pemeluk
agama.
MISI
Berdasarkan
Visi tersebut Kantor Urusan Agama Kecamatan Duduksampeyan Mengemban misi :
a.
Meningkatkan tertib
administrasi KUA.
b.
Meningkatkan kualitas
sarana dan prasarana KUA.
c.
Meningkatkan
kualitas pelayanan kepenghuluan.
d.
Meningkatkan kualitas
pembinaan catin dan bimbingan keluarga sakinah.
e.
Meningkatkan kualitas
pelayanan keagamaan , bimbingan kemasjidan, hisab rukyat, pembinaan syari’ah,
penerangan agama islam.
f.
Meningkatkan kualitas
bimbingan zakat, wakaf dan bimbingan ibadah haji.
g.
Meningkatkan kualitas
koordinasi intern Instansi dan lintas sektoral.
TARIF PELAYANAN
Semua Pelayanan Tidak Ada Biaya / GRATIS
Kecuali Nikah di Luar Kantor / Luar Jam Kerja
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015
NIKAH di KANTOR / KUA (jam kerja) = RP.
0,-
NIKAH di LUAR KANTOR = RP. 600.000,-
(ENAM RATUS RIBU RUPIAH)
DISETOR LANGSUNG KE BANK
( BRI / MANDIRI / BNI dll )
www.kuaduduksampeyan.blogspot.co.id
STANDAR PELAYANAN
1. Pendaftaran Kehendak Nikah => Pemeriksaan Berkas maksimal
25 menit, Penetapan atau Penolakan apabila ada kekurangan persyaratan 5 menit. ( pendaftaran dan hari pelaksanaan
akad minimal 10 hari kerja.
2. Pemeriksaan Calon Pengantin => Pemeriksaan data 25 menit,
Penasehatan yang diperlukan 5 menit.
3. Pembuatan Billing/Tagihan Biaya Nikah Luar KUA =>
Pemeriksaan berkas 15 menit, Pembuatan billing 10 menit, Pembayaran Billing di
Bank oleh calon pengantin waktu kondisional.
4. Pelaksanaan Akad Nikah => Pembukaan 3 menit, Taukil
Wali 10 menit, Khutbah Nikah 15 menit, Akad Nikah 10 menit, Doa Akad Nikah 3
menit, Penandatanganan Berkas 10 menit. ( Diluar waktu perjalanan
petugas/penghulu)
5. Legalisasi Foto Copy Surat Nikah/Dokumen Nikah =>
Pemeriksaan Bukti Surat Nikah Asli 15
menit, Legalisasi 5 menit. (Apabila dokumen surat nikah dari KUA lain perlu
waktu kroscek ke KUA bersangkutan minimal 1 hari)
6. Bimbingan Perkawinan 1 paket => 8 jam materi atau 2
hari .
7. Surat Pengantar / Rekomendasi Pindah Nikah =>
Pemeriksaan 25 menit, Pembuatan Surat 3 menit.
8. Penasehatan Problematika Perkawinan/BP4 => minimal 2
kali pertemuan . 1 pertemuan 30 menit.
9. Konsultasi Kemasjidan, Zakat, Wakaf, Hisab Rukyat,
Binsyar dan Penerangan Islam => kondisional
10. Pembuatan Akta Ikrar Wakaf => Pemeriksaan berkas 30
menit, pembuatan konsep AIW 15 menit, Ikrar Wakaf 30 menit. Catatan : Apabila
persyaratan lengkap sesuai aturan.
11.Bimbingan Manasik Haji bagi Calon Jamaah Haji Reguler
=> 1 paket 6 kali pertemuan , setiap pertemuan 4 jam.
PERSYARATAN PELAYANAN
A. PENDAFTARAN KEHENDAK NIKAH
1. Surat
Keterangan Nikah (Model N1).
2. Pemberitahuan
kehendak (Model N2).
3. Persetujuan
Mempelai (Model N3).
4. Surat
Keterangan Izin Orang Tua (Model N4), bila kurang dari 21 Tahun.
5. Surat
Keterangan Kematian (Model N6), bila berstatus Duda/Janda Mati.
6. Surat
pernyataan belum menikah bermaterai 6.000,- bagi yang belum pernah menikah
7. Akta
Cerai (AC), bila berstatus Duda/Janda Hidup.
8. Dispensasi
Nikah dari PA bila waktu mendaftar nikah usia catin kurang dari 19 tahun untuk CALON ISTRI atau SUAMI.
9. Izin
Poligami dari PA bila menikah lebih dari satu.
10. Penetapan
Wali Adhol dari PA bila walinya tidak mau bertindak sebagai wali.
11. Surat
Dispensasi dari Camat bagi pendaftaran yang kurang dari 10 hari kerja.
12. Izin
dari atasan bagi TNI/POLRI.
13. Izin
dari Kedubes/Konjen bagi WNA.
14. Rekomendasi/Pengantar
Nikah bila pasangan pengantin dari luar kecamatan.
15. Foto
copy KTP, KK, Ijazah, Akta Kelahiran.
16. Pas
photo ukuran 2x3 3 lembar dan 4x6 & 3 X 4 = 2 lembar berwarna dengan
background biru.
CATATAN
: SEHUBUNGAN SEGALA PELAYANAN BERBASIS NIK MAKA SEMUA DATA CALON PENGANTIN YANG
DIPAKAI ADALAH YANG SESUAI NIK, APABILA BELUM SESUAI MAKA HARUS DIRUBAH /
DIPERBAIKI TERLEBIH DAHULU SEBELUM DIDAFTARKAN KE KUA.
PROSEDUR
1.
Catin/wali/wakil
wali datang ke KUA membawa persyaratan.
2.
Melaksanakan
Pemeriksaan Calon Pengantin dan Wali dan menandatangi formulir.
3.
Apabila
nikah di luar KUA calon pengantin memperoleh
billing/tagihan bayar biaya nikah dan membayarkan ke bank lalu membawa bukti
setor biaya nikah dari Bank ke KUA.
4.
Penerbitan
Formulir PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH ( Model NC ).
5.
Pelaksanaan
Akad Nikah sesuai hari yang ditetapkan
B. SURAT PENGANTAR / REKOMENDASI PINDAH NIKAH
1.
Surat
Keterangan Nikah (Model N1).
2.
Surat
Keterangan Asal-Usul (Model N2).
3.
Persetujuan
Mempelai (Model N3).
4.
Surat
Keterangan Orang Tua (Model N4).
5.
Surat
Keterangan Izin Orang Tua (Model N5) bila kurang dari 21 Tahun.
6. Surat
pernyataan belum menikah bermaterai
6.000,- bagi yang belum pernah menikah
7.
Surat
Keterangan Kematian, bila berstatus Janda Mati (Model N6).
8.
Akta
Cerai (AC), bila berstatus Janda Hidup.
9.
Izin
dari atasan bagi TNI/POLRI.
10.
Foto
copy KTP, KK, Ijazah, AktaKelahiran.
11.
Pas
photo ukuran 2x3 3 lembar dan 4x6 2
lembar berwarna dengan background biru
PROSEDUR
Yang bersangkutan atau wakilnya datang ke
KUA membawa persyaratan
C. LEGALISASI SURAT NIKAH
1.
Permohonan
Legalisasi Buku Nikah (Model NA).
2.
Buku
Nikah Asli
3.
Surat
Kuasa bermaterai 6.000 apabila pemohon untuk orang lain.
PROSEDUR
Yang
bersangkutan atau wakilnya datang ke KUA
membawa persyaratan.
D. DUPLIKAT SURAT NIKAH
1.
Surat
Permohonan Pembuatan Duplikat Buku Nikah (Model DN).
2.
Surat
Keterangan/laporan Kehilangan dari Kepolisian atau Buku Nikah yang rusak serta
keterangan dari Kades/kelurahan .
3.
Surat
Kuasa bermaterai 6.000 apabila pemohon untuk orang lain.
4.
Foto
copy KTP, KK dan pas photo ukuran 2x3 3 lembar untuk masing suami/istri.
PROSEDUR
Yang bersangkutan
atau wakilnya datang ke KUA membawa
persyaratan
E. AKTA IKRAR WAKAF ( AIW / APAIW )
1.
Bukti
penguasaan tanah ( berupa surat tanah bagi yang sudah sertipikat atau
keterangan riwayat tanah dilampiri bukti lainnya.
2.
Foto
Copy KTP dan KK Wakif, Ahli Waris, Nazhir
3.
Surat
pengantar dari Kepala desa/kelurahan.
4.
Surat
SK Nazhir bagi yang sudah mendapatkan SK dan masih berlaku.
5.
Surat
permohonan Akta Ikrar Wakaf
6.
Dokumen
lainnya yang dibutuhkan
PROSEDUR
Yang
bersangkutan atau wakilnya datang ke KUA
membawa persyaratan. Pelaksanaan ikrar wakaf sesuai waktu yang
disepakati.
F.
PELAYANAN
LAIN
1.
Surat
permohonan dari pemohon sesuai dengan tugas dan fungsi KUA.
2.
Foto
Copy KTP pemohon
3.
Pelayanan
sesuai prosedur yang berlaku.
Langganan:
Postingan (Atom)