Rabu, 05 September 2018

ATURAN PENGERAS SUARA DI MASJID/MUSHOLLA



Diatur demi ketentraman bersama dan kekhusuan beribadah , para salafus sholihin sudah mengaturnya ketika belum ada alat pengeras suara. KARENA ITU setiap MASJID atau Musholla wajib ada pengeras suara untuk dalam ruangan dan untuk luar ruangan , diatur kapan dipakai dalam saja atau luar saja atau bersama , volume dan kualitas suara diatur juga dengan bijaksana. Tenggangrasa dan toleransi terhadap masyarakat sekitarnya yang mejemuk.
Zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada speaker. Demikian juga di zaman Imam 4 madzhab dan zama para ulama' salaf lainnya, speaker belum ada. Maka tidak ada satu pun riwayat yang bisa kita temukan tentang pengaturan speaker ini.
Tapi walaupun speaker belum ada, adab suara di dalam mesjid sebenarnya sudah ada. Beberapa riwayat di bawah ini merupakan gambaran bagaimana adab (tatakrama) suara di dalam masjid.
**
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
"Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan isi munajatnya dan janganlah satu sama lain mengeraskan mengeraskan bacaan Al Qur’annya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah dan Aisyah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1951)
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata,
اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ ، فَكَشَفَ السِّتْرَ ، وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ ، فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ : فِي الصَّلاَةِ
Saat Nabi Shallallahu ‘laihi wasallam ber I’tikaf di masjid, beliau mendengar para sahabat beliau mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka kain penutup dan bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain” (HR. Abu Dawud no. 1332; Ibnu Khuzaimah no. 1100; Ahmad no. 12219)
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menceritakan :
Sa’id bin Musayyab pada suatu malam di salam masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar Umar bin Abdul Aziz RA membaca keras di dalam shalatnya dan ia bagus suaranya. Maka Sa’id berkata kepada budaknya, “Pergilah kepada orang yang sedang shalat itu, perintahkan agar ia merendahkan suaranya”. Maka budak itu berkata, “Masjid ini bukan milik kita, dan seseorang mempunyai bagian padanya”. Lalu Sa’id mengeraskan suaranya dan berkata,
يا أيها المصلي إن كنت تريد الله عز وجل بصلاتك فاخفض صوتك وإن كنت تريد الناس فإنهم لن يغنوا عنك من الله شيئاً
“Hai orang-orang yang sedang shalat, jika kamu dengan shalatmu menghendaki Allah Azza wajalla, rendahkanlah suaramu. Dan jika kamu menghendaki manusia, maka sesungguhnya mereka itu tidak akan menjadikanmu kaya (tidak butuh) kepada Allah sedikitpun”
Maka Umar bin Abdul Aziz diam dan meringankan shalatnya. Ketika ia lelah, lalu membaca salam, kemudian ia mengambil sepasang sandalnya dan pergi. Pada waktu itu ia adalah gubernur di Madinah.
[Ihya ‘Ulumiddin 2/273
Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
وَالْجَهْرُ بِحَضْرَةِ نَحْوِ مُصَلٍّ أو نَائِمٍ مَكْرُوهٌ كما في الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَلَعَلَّهُ حَيْثُ لم يَشْتَدَّ الْأَذَى وَإِلَّا فَيَنْبَغِي تَحْرِيمُهُ
"Dan membaca dengan keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka hukumnya makruh –sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu' dan kitab yang lainnya-. Hukum makruh ini mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah parah, jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram" (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 1/157-158)
Sayyid Sabiq berkata :
يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم
Mengeraskan suara sehingga menyebabkan orang lain yang sedang shalat terganggu adalah diharamkan, meskipun yang dibaca itu al-quran, kecuali jika sedang mempelajari suatu ilmu.
[Fiqiih Sunnah 1/373].
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, dalam kitab Fathul Mu’in, ketika membahas tentang anjuran membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at, berkata :
ويُكرَهُ الجهرُ بقراءةِ "الكهف" وغيره إن حصل به تَأَذٍّ لِمُصَلٍّ أو نائم كما صرّح النووي في كتبه وقال شيخنا في شرح العباب: ينبغي حُرْمَةَ الجهرِ بالقراءة في المسجدِ. وحُمِلَ كلامُ النوويّ بالكراهة: على ما إذا خَفَّ التأذّي، وعلى كون القراءة في غير المسجدِ
Makruh membaca surat Al-Kahfi atau surat lainnya dengan suara keras sekira hal itu dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau sedang tidur, sebagaimana penjelasan An-Nawawi dalam kitab-kitabnya.
Dalam Syarah Al-‘Ubah, syaikhuna berkata, “Semestinya mengeraskan suara itu hukumnya haram, bila membacanya di masjid. Mungkin maksud Imam Nawawi mengatakan makruh itu bila tidak terlalu mengganggu serta membacanya bukan di masjid. [Fathul Mu’in 1/467]

sumber dari FB Abdurrahman Arum ; https://www.facebook.com/abdurrahman.arum/posts/10217377194368189?__tn__=K-R

lebih jelas nya di 
https://lookaside.fbsbx.com/file/PERATURAN%20PENDIRIAN%20RUMAH%20IBADAH.pdf?token=AWxTK0_v7vGa6ORjKjy1m1uuNE4IEymSXZ25iLyA8S6KVF0bO2TPfEIUYMml0y46OZuEN6gxRBzNE8mbAQTu7EQSd_lowfYZbYnKOkK5qnm4OhoCahLtem92tu9ZjajIgQxGp9dym3DSIT3c9zn-LYlK4Zxgy51QZBomxV-Wu_dFsg


Tidak ada komentar:

Posting Komentar