Senin, 16 Desember 2019

Beda Negara Beda Kebijakan, Ini Tipologi Khatib di UEA


sumber https://kemenag.go.id/berita/read/512375/beda-negara-beda-kebijakan--ini-tipologi-khatib-di-uea
Abu Dhabi (Kemenag) --- Menag Fachrul Razi bertemu Kepala Badan Urusan Agama Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab (UEA), Mohammed Matar Salem bin Abid Alkaabi di Abu Dhabi, Minggu (15/12). Keduanya berdiskusi tentang penguatan moderasi beragama dan optimalisasi peran masjid. 
Kepada Menag,  Mohammed Matar Salem berbagi informasi seputar kebijakan pemilihan khatib Jumat dan penceramah di negaranya. Menurutnya, ada tiga tipologi khatib dan penceramah. 
Pertama, khatib dan penceramah yang diberikan kebebasan untuk berkhutbah atau berceramah tanpa teks. Kedua, khatib dan penceramah yang diberikan kisi-kisi untuk selanjutnya dikembangkan oleh yang bersangkutan saat berceramah. 
Ketiga,  khotib dan penceramah yang hanya boleh membacakan naskah/teks yang disiapkan dan telah ditashih oleh General Authority of Islamic Affairs and Awqaf (Kementerian Urusan Agama Islam dan Waqaf). 
Tiga tipologi khatib dan penceramah ini disampaikan saat Mohammed Matar Salem berdiskusi dengan Menag tentang rencana kerjasama dua negara untuk mainstreaming Islam wasatiyah. "Kami tadi berdiskusi banyak. Ke depan, kami ingin bersinergi agar fungsi masjid bisa dioptimalkan, tidak hanya sebagai tempat sholat saja, tapi menjadi pusat moderasi keislaman," ujar Menag usai bertemu Mohammed Matar. 
"Indonesia dan UEA sudah menjalin sinergi pengiriman imam masjid. Ini akan kami tingkatkan," lanjutnya. 
Menag mengapresiasi Duta Besar RI untuk Uni Emirat Arab Husin Bagis yang telah memperkokoh jalinan sinergi Indonesia dan UEA,  serta ikut membantu pengarusutamaan moderasi Islam di kancah dunia. 
Menag mengaku melihat perkembangan signifikan di UEA dalam konteks keberagamaan. Corak kehidupan keagamaan di UEA sudah lebih progresif. Hal sama dirasakan Menag saat berkunjung ke Arab Saudi awal Desember lalu. Menurut Menag, Saudi terus membangun, di mana identitas nasional saat ini diletakkan dalam kotak yang sama dengan identitas agama (Islam). 
"Ini hal baru dan positif. Saudi sudah mulai bicara tentang nasionalisme dan agama, tentang relasi positif agama dan negara," lanjutnya. 
Menag di Abu Dhabi sampai 17 Desember mendatang. Sejumlah kesepakatan rencana kerjasama telah dibahas, termasuk tentang pertukaran keahlian dan pengalaman untuk mempromosikan konsep Moderasi Islam dan nilai-nilai toleransi beragama, serta mempromosikan kesadaran bersama tentang bahaya ideologi ekstremisme.
“Kami serius menjalin sinergi dengan UEA. Rancangan Memorandum of Understanding sedang dalam tahap finalisasi. Semoga paling lambat awal Januari 2020 sudah bisa diteken kedua belah pihak antara Pemerintah RI dan Pemerintah UEA,” tegas Menag.

PMA Majelis Taklim Disusun Bersama Ormas Islam


sumber https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/pma-majelis-taklim-disusun-bersama--ormas-islam

Jakarta, Bimas Islam --- Lahirnya PMA Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majlis Ta'lim (MT) mendapat respon luas dari publik. Direktur Penerangan Agama Islam M Juradi menegaskan bahwa PMA ini lahir sebagai respon atas kebutuhan data MT. 

Menurut Juraidi, PMA ini tidak asal jadi,  tapi melalui proses pembahasan yang cukup panjang. Dalam penyusunannya,  Kementerian Agama melibatkan para pimpinan organisasi MT, di antaranya: BKMT (Badan Kontak Majlis Ta'lim), FKMT (Forum Komunikasi Majlis Ta'lim), PMTI (Perhimpunan Majlis Ta'lim Indonesia), Permata (Pergerakan Majlis Ta'lim), Hidmat Muslimat NU, Fatayat, Aisiyah Muhammadiyah, Nasiyatul Aisiyah, dan para tokoh, praktisi MT. 

"Setelah pembahasan konsep, dilanjutkan dengan finalisasi, kemudian diharmonisasi dengan menghadirkan pihak Kemenkumham RI, dan Kemendagri. Jadi bukan ujug-ujug atau serta merta karena menyikapi suatu issue," tegas Juraidi di Jakarta, Kamis (12/12).

"Kehadiran PMA 29/2019 lebih kepada kebutuhan akan data majelis taklim dan pembinaannya," sambungnya. 

Untuk memperoleh data MT yang valid, kata Juraidi, diperlukan definisi dan kriteria yang jelas. Sebab,  jika tidak jelas kriterianya, maka data yang dihasilkan akan bias.

Masjid misalnya, kalau kriterianya adalah tempat yang digunakan untuk shalat jum'at, bagaimana dengan aula dan tempat parkir kantor yang digunakan untuk shalat jum'at. Apakah bisa disebut masjid? Tentu tidak. Oleh karena itu, kriterianya harus jelas.

"Begitu juga MT yang diatur dalam PMA 29/2019, jelas kriterianya," tutur Juraidi. 

Juraidi mencontohkan beda MT dan Ta'lim. Menurutnya, jika ada orang berkumpul belajar agama berapa pun jumlahnya, di bawah pohon sekalipun tempatnya, itu bisa disebut Ta'lim, tapi bukan majelis taklim. Sebab, MT ada kriteria yang sudah disepakati oleh para pimpinan dan praktisi MT, dan itu dimuat dalam PMA 29/2019.

Selain soal kriteria, lanjut Juraidi, masalah yang muncul dalam pembahasan draft PMA terkait jumlah MT di Indonesia. Fakta saat ini, ada MT  yang terdaftar pada BKMT, tapi mendaftar pula di FKMT. Bahkan,  didata juga oleh HMTI, atau HIDMAT Muslimat NU. Ketika masing-masing organisasi melaporkan, maka data jumlah MTnya pasti tidak valid.

"Disinilah arti penting data yang disajikan pemerintah. PMA 29 hadir dalam semangat itu," jelasnya. 

"Pendataan yang baik akan memudahkan proses pembinaan," tandasnya.

Rabu, 11 Desember 2019

Sekjen Ajak Anak Muda Millenial Perangi dan Luruskan Hoaks


sumber : https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/sekjen-ajak-anak-muda-millenial-perangi-dan-luruskan-hoaks

Jakarta, Bimas Islam --- Berita hoaks terus beredar di berbagai media sosial saat ini. Oleh karena itu, Sekjen Kementerian Agama M Nur Kholis Setiawan mengajak anak muda millenial untuk memerangi dan meluruskan hoaks.

Ajakan ini disampaikan Sekjen pada kegiatan yang bertajuk Meet and Greet MoRa-Millenials yang bertempat di Hotel Aston Kartika Grogol Jakarta, Selasa (04/12).

Dihadiri 80 orang peserta yang terdiri dari unsur komunitas blogger, influencer, media Islam, organisasi kepemudaan Islam, remaja masjid, dan lainnya.

"Anak muda harus mengisi jagad media sosial dengan informasi-informasi yang benar, jangan mudah percaya suatu informasi tanpa cek kebenarannya", lanjut Sekjen.

Dikatakan Sekjen, bahwa hoaks beredar tidak hanya pada zaman sekarang saja, bahkan di zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada hoaks.

Salahsatu contohnya, lanjut Sekjen adalah ketika Rasulullah Hijrah dari Mekkah ke Madinah, dimana kaum Anshar iri Dengan perhatian Rasulullah kepada kaum Quraisy.

Sehingga Rasulullah mengumpulkan seluruh kaum Anshar dan mengatakan wahai orang Anshar, apakah kalian tidak berkenan di hati jika orang lain pulang membawa domba dan unta, sedangkan kalian kembali ke rumah bersama Rasul Allah.

Kalimat yang diucapkan Rasulullah membuat kaum Anshar menangis dan menghilangkan prasangka buruk mereka terhadap Rasulullah.

Terakhir, Sekjen berpesan kepada peserta yang hadir untuk menggunakan pengaruh kalian di media sosial dengan memberikan pengaruh positif untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Penulis: nhkurniawan

Inovasi Haji 2020: Pembatas Jemaah Laki-Perempuan di Tenda Mina & Jalur Kursi Roda di Muzdalifah


sumber : https://kemenag.go.id/berita/read/512323/inovasi-haji-2020----pembatas-jemaah-laki-perempuan-di-tenda-mina---jalur-kursi-roda-di-muzdalifah

Makkah (Kemenag) --- Muasasah Ath-Thawafah Makkah menyetujui usulan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag untuk memasang pembatas jemaah laki-laki dan perempuan di tenda Mina. Selama ini, tidak ada pembatas yang dipasang di tenda Mina.
"Penempatan jemaah haji di tenda Mina, akan dipisah jemaah laki dan perempuan," terang Direktur Layanan Haji Luar Negeri Sri Ilham Lubis saat bertemu Muassasah Ath-Thawafah di Makkah, Senin (09/12).
Pertemuan dihadiri Pimpinan Muasasah beserta jajarannya. Delegasi Indonesia, selain Sri Ilham, hadir juga Konsul Haji KJRI Jeddah Endang Djumali bersama Staf Teknis Haji lainnya.
Pertemuan ini mengagendakan evaluasi operasional haji 1440H/2019M, sekaligus pembahasan peningkatan layanan haji 1441H/2020M. Sri Ilham menyampaikan permohonan yang sebelumnya disampaikan Menteri Agama RI kepada Menteri Haji dan Umrah Saudi agar memperioritaskan pembangunan toilet bertingkat di Mina untuk jemaah haji Indonesia. Sri Ilham juga meminta agar sejumlah inisiatif Indonesia untuk perbaikan layanan haji tahun lalu di Arafah dan Mina tetap dipertahankan, antara lain:  AC freon di Arafah dan penomoran tenda di Armina.
"Kami minta agar itu semua tetap berjalan, jika perlu ditingkatkan," tegas Sri Ilham.
"Kami juga mibta agar penempatan jemaah di Armina berdasarkan zonasi penempatan jemaah di Makkah," lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, tahun lalu, Ditjen PHU Kemenag menerapkan kebijakan baru sistem penempatan jemaah di Makkah berbasis zona. Ada tujuh zona di Makkah, yaitu: Jarwal, Misfalah, Mahbas Jin, Syisah, Raudlah, Aziziyah, dan Rey Bakhsy.
Pihak muasasah, lanjut Sri Ilham, sepakat dengan hal ini. Bahkan, mereka berkomitmen untuk menyerahkan denah penempatan jemaah sejak tanggal 1 Dzulhijjah untuk memastikan kesiapan fasilitas yang tersedia di Arafah dan Mina, mulai AC, listrik, dan fasilitas lainnya.
"Tahun depan akan dibuat juga jalan khusus untuk jemaah pengguna kursi roda di Muzdalifah," tandasnya.

Minggu, 08 Desember 2019

Alasan Kemenag Harus Perhatikan Majelis Taklim, Kontribusi dan Regulasi


sumber : https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/alasan-kemenag-harus-perhatikan-majelis-taklim-kontribusi-dan-regulasi

Jakarta, Bimas Islam --- Kementerian Agama berkomitmen untuk memberi perhatian lebih kepada majelis taklim. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim.

Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag Juraidi mengatakan sudah seharusnya pemerintah, bahkan segenap komponen bangsa memperhatikan keberadaan majlis taklim. Menurutnya, sedikitnya ada dua alasan pentingnya memberi perhatian tersebut.

Pertama,  lembaga yang tumbuh dari masyarakat ini telah banyak memberikan kontribusi dalam ikut mencerdaskan bangsa dan negara. "Emak-emak yang tidak bisa mengakses dunia pendidikan formal melalui sekolah, dan madrasah, dibina oleh majlis taklim," ujarnya di Jakarta, Senin (02/12).

"Begitu juga bapak-bapak yang sibuk bekerja sampai pensiun, sehingga belum sempat belajar agama, ditampung oleh majlis talim. Anak putus sekolah diajari agama di majlis taklim. Bahkan, saya pernah mengajar ngaji para asisten rumah tangga melalui majlis taklim," lanjutnya.

Alasan kedua, lanjut Juraidi, secara regulasi, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur pendidikan keagamaan. Regulasi ini lalu dijabarkan dalam PP No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang menyebut secara eksplisit bahwa majlis taklim merupakan lembaga pendidikan nonformal. Dengan demikian, majelis taklim juga berhak atas anggaran fungsi pendidikan yang alokasinya mencapai 20% dari anggaran negara.

"Majelis taklim justru melaksanakan pendidikan agama kepada masyarakat yang tidak terjangkau dan tersentuh dunia pendidikan formal. Oleh karena itu, majelis taklim perlu diberikan perhatian, dibantu untuk peningkatan manajemen pengelolaannya agar semakin bisa memberdayakan masyarakat di sekitarnya," tegas Juraidi.

Melalui PMA No 29 tahun 2019, Kementerian Agama ingin memberikan penguatan terhadap keberadaan majelis taklim. Penguatan dilakukan secara komprehensif mencakup lima rukun majelis taklim, yaitu: jamaah, ustadz/ah, pengurus, tempat, dan materi taklimnya. "Kalau soal pakaian seragam dan lainnya, itu sunnah saja," ujarnya berkelakar.

Disinggu terkait Bab Pembinaan yang dinilai sebagai intervensi dan menggurui, Juraidi menjelaskan bahwa aspek pembinaan sangat luas. Pembinaan antara lain dilakukan dalam bentuk menerbitkan juknis, modul, pedoman,  melakukan pendataan, mengundang rapat, menyampaikan informasi, bahkan memberikan bantuan termasuk bagian dari pembinaan.

"Pembinaan diberikan sesuai kebutuhan majelis taklim, pada aspek yang memang masih memerlukan penguatan. Kemenag tentu  tidak berpretensi menggurui," tandasnya.

Kemenag akan Manfaatkan Media Sosial Untuk Sebarkan Moderasi Beragama


sumber : https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/kemenag-akan-manfaatkan-media-sosial-untuk-sebarkan-moderasi-beragama

Jakarta, Bimas Islam --- Kementerian Agama akan memperbanyak penyuluhan melalui media sosial guna penyebaran nilai-nilai keagamaan yang moderat. Ini untuk melengkapi penyuluhan-penyuluhan keagamaan yang selama ini telah dilakukan dalam rangka mencegah radikalisme, bahkan terorisme di Indonesia.

Hal ini dikemukakan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama M. Nur Kholis Setiawan saat memberikan arahan pada Rencana Aksi di Lingkungan Kementerian Agama Terkait Program Penanggulangan Terorisme Tahun 2020, di Jakarta.

"Ke depan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, pencegahan radikalisme dan terorisme tidak hanya melalui jalur konvensional seperti penyuluhan, ceramah-ceramah dan melalui kurikulum di satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama saja," kata M. Nur Kholis, Jumat (06/12).

"Namun ke depan, diharapkan sudah mulai melalui jalur kontemporer dengan pemanfaatan media-media dan jaringan sosial yang ada dengan pendekatan yang lebih diterima oleh kaum milenial," sambungnya.

Sekjen M. Nur Kholis menyampaikan peranan Kementerian Agama dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme bersifat pencegahan. "Dalam artian tusi Kementerian Agama memberikan pemahaman keagamaan yang tepat sehingga dapat mencegah paham radikal yang berujung pada terorisme," tutur Sekjen.

Sekjen menuturkan, pada tahun 2019, Kemenag telah terlibat dalam Aksi Penanggulangan Terorisme beserta 36 Kementerian/Lembaga yang dimotori Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Rencana Aksi Kementerian Agama tentang Penanggulangan Terorisme Tahun 2019 ini 100 persen disetujui oleh BNPT untuk diterapkan.

"Di mana dalam rencana ini terdapat 22 rencana aksi. Namun masih terbatas pada tiga provinsi, yaitu Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Jawa Timur," kata Sekjen.

Sekjen berharap, pada tahun 2020 mendatang, rencana aksi Kementerian Agama terkait dengan penanggulangan terorisme akan bertambah. "Karena kami berharap lebih banyak keterlibatan dari unit eselon I, seperti Ditjen Bimas Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha," imbuhnya.

Upaya Kemenag dalam penanggulangan terorisme ini, mendapat apresiasi dari Sestama BNPT Marsekal Muda TNI Dr. A. Adang Supriyadi. "Terutama terimakasih atas pengiriman kitab suci Al-Quran maupun injil bagi tiga lokasi tersebut," ujar Adang.

Selasa, 03 Desember 2019

DUKUNGAN ULAMA TERHADAP SERTIPIKASI LAYAK MENIKAH



Oleh ; Nasichun Amin*)

Berita tentang wacana sertifikasi layak nikah/kawin yang digagas Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menuai pro kontra dan sempat viral di media. Dalam news.detik.com/berita/d-4788770, Menko PMK Muhadjir Effendi mempertimbangkan kewajiban sertifikat menikah tahun depan. Kementerian Agama (Kemenag) mengaku siap bersinergi terkait kebijakan tersebut dengan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) di KUA.  “Sebenarnya sudah ada, bahwa setiap orang yang mau menikah di Kemenag itu sudah melalui semacam penyuluhan yang dilakukan para petugas KUA. Kalau ditingkatkan jadi sertifikat, kami akan mendukung," jelas Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid.
Sertipikasi (layak) nikah sebelum melaksanakan atau mendaftarkan rencana pernikahan adalah suatu usaha yang baik dengan memberi bekal ilmu dalam mempersiapkan calon pasangan suami istri menuju pembentukan keluarga yang diharapkan yaitu keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Menurut Mohsen selaku Direktur Bina KUA & Keluarga Sakinah, itu (bekal ilmu) jugalah yang sedang dipikirkan pemerintah bagaimana agar sebuah keluarga bisa bertahan utuh selamanya untuk menghasilkan generasi yang unggul agar negara bisa maju ke depannya. Sebuah bangsa bisa maju jika masyarakatnya berpikiran maju. Dan masyarakat yang maju tentu harus dimulai dari keluarga. Sehingga program ketahanan keluarga yang diemban pemerintahan Presiden Joko Wododo sejak periode pertamanya menjadi penting (Nawa Cita Nomor 5).
Program ketahanan keluarga kian penting jika disandingkan dengan angka perceraian yang tinggi di Indonesia. Data Mahkamah Agung menyebutkan, angka perceraian pada tahun 2018 sebanyak 419.268 pasang, di mana 307.708 kasus berdasarkan gugatan cerai dari pihak istri dan 111.490 kasus merupakan permohonan talak dari pihak suami. Perceraian antara suami dan istri jelas menghambat perkembangan anak dan pada akhirnya tujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul akan terganggu dan terasa sulit. Perceraian terjadi tentu memiliki sabab musababnya. Sebagaimana dimuat dalam opini bimasislam.kemenag.go.id (24 Nop 2019) menurut data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, faktor penyebab terjadinya perceraian paling banyak dipengaruhi oleh percekcokan yang terjadi secara terus menerus yang angkanya mencapai 150.574 pasang cerai (50 persen). Percekcokan yang berakibat pada perceraian ditengarai karena minimnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban masing-masing suami istri. Ketidaktahuan tersebut akibat tidak adanya atau minimnya bekal yang diperoleh. Karena itu sertipikasi nikah sangat diperlukan dan urgen harus dilaksanakan. 
Lalu bagaimana pandangan ulama di Indonesia terkait program yang sangat urgen dan dibutuhkan saat ini. Tentang rencana program sertifikasi pra nikah sebagai wujud tanggung jawab negara dalam pembinaan membangun keluarga sejahtera bagi warga negara yang sedang merencakan pernikahan, forum Bahtsul Masail Musyawarah Kerja I  PWNU Jawa Timur pada tanggal 29 dan 30 Nopember 2019 di Ponpes nurul Jadid Paiton Probolinggo yang diikuti oleh beberapa ulama di Jawa Timur menyatakan bahwa:
1. Mendukung keputusan program tersebut, karena di dalamnya terdapat pelatihan dan pembelajaran perihal yang dibutuhkan dalam membina rumah tangga.
2. Program tersebut supaya diselenggarakan dengan sebaik-baiknya, dengan menyerahkan pelaksanaannya kepada ormas atau lembaga keagamaan yang berkompeten.
3. Pemerintah hendaknya mensosialisasikan program tersebut sebelum menerapkannya.
4. Penanganan dan pelaksanaannya harus dilakukan dengan prinsip tidak memberatkan warga dari segi waktu, materi dan biaya.
5. Sertifikat yang diterbitkan kemenag dalam program sertifikasi pra nikah hendaknya tidak dijadikan syarat pencatatan pernikahan di KUA. (sumber Keputusan BM Qonuniyah Muskerwil I PWNU Jatim 2019)
Pada dasarnya para ulama khususnya di Jawa Timur menyadari pentingnya diselenggarakan pendidikan khusus bagi calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan dan membentuk kehidupan keluarga baru. Namun para ulama memberi himbauan agar program ini harus benar-benar dilaksanakan secara serius dan direncanakan secara baik dan membawa dampak yang positive bagi keluarga yang baru terbentuk dan meningkatkan atau menjadikan keluarga Indonesia keluarga yang unggul.

*)  Penghulu Madya / Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Kab. Gresik

Revitalisasi Suscatin plus Sertifikasi Nikah, Belajar dari Bimwin Kemenag


Oleh:
Mohsen*

sumber ; https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/revitalisasi-suscatin-plus-sertifikasi-nikah-belajar-dari-bimwin-kemenag

"Baru sertifikatnya, buku nikahnya minggu depan hehehe. #bimbinganpranikah," tulis Risa Saraswati pada caption foto dirinya dan calon suami sambil memegang sertifikat yang ia bagikan di akun Instagramnya, @risa_saraswati beberapa waktu lalu.

Risa Saraswati adalah pesohor dan sebagai calon pengantin yang menganggap bimbingan pra nikah itu penting dan dibutuhkan untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan barunya yaitu berumah tangga dan berkeluarga. Karena menikah tidak sekadar mengakui keabsyahan secara administrasi, tetapi bertanggung jawab secara moral agar kedua mempelai memiliki bekal yang cukup dalam memasuki gerbang berumah tangga.

Itu jugalah yang sedang dipikirkan pemerintah bagaimana agar sebuah keluarga bisa bertahan utuh selamanya untuk menghasilkan generasi yang unggul agar negara bisa maju ke depannya. Sebuah bangsa bisa maju jika masyarakatnya berpikiran maju. Dan masyarakat yang maju tentu harus dimulai dari keluarga. Sehingga program ketahanan keluarga yang diemban pemerintahan Presiden Joko Wododo sejak periode pertamanya menjadi penting (Nawa Cita Nomor 5).

Program ketahanan keluarga kian penting jika disandingkan dengan angka perceraian yang tinggi di Indonesia. Data Mahkamah Agung menyebutkan, angka perceraian pada tahun 2018 sebanyak 419.268 pasang, di mana 307.708 kasus berdasarkan gugatan cerai dari pihak istri dan 111.490 kasus merupakan permohonan talak dari pihak suami. Perceraian antara suami dan istri jelas menghambat perkembangan anak dan pada akhirnya tujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul akan terganggu dan terasa sulit.

Perceraian terjadi tentu memiliki sabab musababnya. Menurut data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, faktor penyebab terjadinya perceraian paling banyak dipengaruhi oleh percekcokan yang terjadi secara terus menerus yang angkanya mencapai 150.574 pasang cerai (50 persen). Percekcokan yang berakibat pada perceraian ditengarai karena minimnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban masing-masing suami istri. Ketidaktahuan tersebut akibat tidak adanya atau minimnya bekal yang diperoleh.

Sampai di sini, pembekalan yang diberikan kepada pasangan yang ingin menikah menjadi penting dilakukan. Lantas bagaimana caranya? Bagaimana merespon wacana Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tentang kewajiban sertifikasi perkawinan? Sebelum menjawab hal itu ada baiknya kita melihat bagaimana praktik bimbingan pra nikah yang sudah dilakukan oleh Kementerian Agama.

Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sebenarnya sejak tahun 2017 telah melaksanakan kegiatan yang disebut dengan Bimbingan Perkawinan (Bimwin), di mana kegiatan Bimwin ini merupakan revitalisasi dari kegiatan serupa tapi tidak sama yang pernah dijalankan oleh Kemenag sejak lama, yaitu Kursus Calon Pengantin (Suscatin). Mengapa disebut revitalisasi? Karena konsep Suscatin dengan Bimwin berbeda.

Selama ini Suscatin hanya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dengan waktu singkat dan materi yang terbatas, yaitu ansich tentang bagaimana menikah dalam persfektif keagamaan yang fasilitatornya juga terbatas dari KUA.

Sedangkan Bimwin calon pengantin (catin) berfokus pada memampukan (enabling) catin untuk mengelola kehidupannya. Kemudian juga bagaimana menjawab tantangan zaman seperti perceraian, konflik dan kekerasan, stunting, kemiskinan, infeksi menular seksual, kesehatan, dan paparan radikalisme.

Berbeda dengan Suscatin yang disampaikan secara monolog dalam bentuk ceramah, Bimwin dilakukan dengan menggunakan pendekatan baru, yaitu cara belajar orang dewasa seperti adanya simulasi, games dan berbagi pengalaman dan mencari solusi permasalahan yang dibimbing oleh tenaga fasilitator. Para fasilitator tersebut sebelumnya sudah mengikuti bimbingan teknis dan memperoleh sertifikat. Selama tiga tahun terakhir, Bimwin telah dilaksanakan di seluruh Indonesia (34 provinsi).

Pelaksanaannya berada di KUA Kecamatan dan penanggungjawabnya adalah Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten/Kota. Salah satu materi yang diberikan adalah materi kesehatan reproduksi dan stunting yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan (Puskesmas). Materi lainnya pengetahuan agama dan peraturan perundangan, perilaku baik dan hidup sehat, psikologi dan pengasuhan anak dan materi lainnya yang terkait dengan kiat-kiat membangun dan membentuk keluarga sakinah atau keluarga bahagia yang bekerja sama dengan BKKBN dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam Bimwin ini, calon pasutri juga dibekali buku Fondasi Keluarga Sakinah sebagai bahan bacaan mandiri. Setelah berumah tangga, mereka dapat mengikuti Bimbingan Masa Nikah, yaitu membangun relasi harmonis dan mengelola keuangan keluarga. Jika rumah tangga bermasalah, KUA juga menyediakan layanan konsultasi dan pendampingan. Untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, pada KUA juga ada program bimbingan remaja untuk cegah kawin anak. Kemudian ada juga bimbingan remaja usia nikah dan moderasi beragama berbasis keluarga.

Target catin yang memperoleh Bimwin saat ini masih sekitar tujuh sampai sepuluh persen per tahun atau sekitar  60.000 - 100.000 pasangan. Bimwin diampu oleh 2.000 fasilitator yang terdiri dari penghulu, penyuluh, dan perwakilan dormas Islam diantaranya Muslimat NU, Aisyiyah dan Wanita Islam. Jika dihitung jumlah catin yang menikah setiap tahun sebanyak 2 juta pasang, maka jumlah ini jauh dari harapan. Sebab anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan Bimwin sebanyak 2 juta pasangan calon pengantin membutuhkan Rp800 miliar per tahun.

Selain memberikan materi bimbingan perkawinan secara tatap muka, Kemenag juga tengah menyiapkan website Bimwin yang bisa dikunjungi oleh masyarakat setiap waktu dan di mana saja. Pada website Bimwin tersebut terdapat menu-menu berupa materi bimbingan (dalam bentuk buku dan artikel) dan menu curhat bagi siapa saja yang ingin curhat masalah rumah tangga, hukum perkawinan, masalah keuangan keluarga, dan kesehatan.

Proyek ini diinisiasi dan dibuat oleh Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama dan mendapat respon positif dari Kemenko PMK. Sekarang dalam proses pengembangan karena akan diperuntukkan buat semua umat beragama dan bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait seperti BKKBN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan lain-lain.

What’s next?

Setelah penulis uraikan peran Kementerian Agama dalam upaya melaksanakan program ketahanan keluarga, lantas bagaimana kemudian kita menanggapi wacana sertifikasi perkawinan tersebut. Perlu diketahui, 100ribu pasang catin yang telah mengikuti Bimwin di KUA juga memperoleh sertifikat. Namun, Kemenag belum menjadikan sertifikat Bimwin tersebut sebagai salah satu syarat administrasi untuk menikah karena hal itu bukan kewajiban.

Kemenag sejatinya menyambut baik rencana sertifikasi perkawinan tersebut karena memang bertujuan baik untuk ketahanan keluarga. Apalagi Kemenag sudah memulainya sejak tahun 1990-an yang kemudian direvitalisasi pada tahun 2017. Tentu ke depan apabila program Bimwin ini dilaksanakan secara nasional dan untuk semua warga Negara tanpa membedakan agama, maka sudah bisa dipastikan akan membutuhkan anggaran yang sangat besar.

Sebab selama ini untuk menyasar dua juta catin yang beragama Islam saja, Kemenag kewalahan. Apalagi jika hanya mengharapkan anggaran dari pendapatan negara bukan pajak yang berasal dari pencatatan peristiwa nikah atau rujuk di KUA yang hanya menghasilkan Rp600 miliar per tahun, di mana dana tersebut juga harus dibagi kepada kegiatan selain Bimwin.

Selain anggaran, tentu yang harus dirumuskan adalah mengenai durasi waktu pembekalan. Jika menilik waktu yang disampaikan oleh Menko PMK selama tiga bulan, tentu harus dipikirkan ulang. Sebab selama ini yang dilakukan Kemenag selama dua hari berturut-turut sulit dipenuhi oleh calon suami istri. Alasannya terbentur soal waktu dan pekerjaan karena harus meninggalkan pekerjaan yang izinnya tidak mudah diperoleh. Lagi pula, jika dilaksanakan sampai tiga bulan, maka hal itu akan melanggar prinsip pelayanan prima yang mengandaikan efektifitas, tidak bertele-tele, cepat, mempermudah dan menyederhanakan pelayanan.

Menurut hemat penulis, sembari memikirkan dari mana anggaran penyelenggaran Bimwin ini diperoleh, yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat masyarakat merasa membutuhkan bimbingan perkawinan baik pra nikah, usia masa nikah, dan masa nikah agar keluarga mereka berjalan harmonis dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginan. Jika masyarakat sudah merasa butuh, maka skema pembiayaan penyelenggaraan Bimwin bisa dilakukan secara patungan.

Jika dari segi pembiayaan masih sulit dilakukan, ada baiknya mempertimbangkan materi bimbingan perkawinan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah di tingkat akhir sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan di perguruan tinggi semester akhir. Langkah ini cukup efektif memperkenalkan hal-hal yang terkait dengan perkawinan yang tentu nanti materinya dikemas dalam formula yang tepat. Wallahu a’lam bis shawab.

*Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah
Editor : Khoiron

Minggu, 03 November 2019

Mengatasi Stunting, KUA dan Puskesmas Harus Bersinergi dalam Binwin



Oleh NASICHUN AMIN
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk. (republika.or.id 24 Jan 2018) WHO menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Angkanya mencapai 36,4 persen. Namun, pada 2018, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), angkanya terus menurun hingga 23,6 persen. (Sumber beritagar.id 5 April 2019) Dari data yang sama, diketahui pula stunting pada balita di Indonesia pun turun menjadi 30,8 persen. Adapun pada Riskesdas 2013, stunting balita mencapai 37,2 persen.
Menurut aladokter.com , stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak. Umumnya bagi seorang anak yang mengalami kurang gizi kronis, proporsi tubuh akan tampak normal, namun kenyataannya lebih pendek dari tinggi badan normal untuk anak-anak seusianya. Kondisi stunting sudah tidak bisa ditangani lagi bila anak memasuki usia dua tahun. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya stunting pada anak, ibu perlu mengonsumsi asupan gizi yang layak, terutama selama masa kehamilan hingga anak lahir dan berusia 18 bulan. Pada dasarnya, kelangsungan hidup dan kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari kesehatan Sang Ibu sendiri.
Secara umum, kekerdilan atau stunting ini disebabkan oleh gizi buruk pada ibu, praktik pemberian dan kualitas makanan yang buruk, sering mengalami infeksi serta tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.  Stunting dapat terjadi bila calon ibu mengalami anemia dan kekurangan gizi. Wanita yang kekurangan berat badan atau anemia selama masa kehamilan lebih mungkin memiliki anak stunting, bahkan berisiko menjadi kondisi stunting yang akan terjadi secara turun-temurun. Kondisi tersebut bisa diperburuk lagi bila asupan gizi untuk bayi kurang memadai, misalnya bayi diberikan air putih atau teh sebelum berusia enam bulan, karena pada usia ini bayi seharusnya diberikan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif maupun susu formula sebagai penggantinya. Tidak hanya itu, gizi buruk yang dialami ibu selama menyusui juga dapat mengakibatkan pertumbuhan anak menjadi terhambat. (sumber aladokter.com 10 Nop 2016)
Sebagaimana dalam bimasislam.kemenag.go.id  bahwa Wapres KH Maruf Amin bersama sejumlah menteri dan pimpinan lembaga menggelar rapat, membahas penanggulangan kemiskinan dan penanganan stunting. Hadir dalam rapat tersebut Menag Jenderal (Purn) Fachrul Razo, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dan menteri lainnya yang terkait.
Kementerian Agama akan mengintensifkan penyuluhan kepada calon pengantin agar memahami persoalan stunting sejak dini. "Penanganan stunting sudah bagus, kalau Kemenag tinggal menyusun aturan pranikah, memberikan penyuluhan kepada calon pengantin," kata Menag di Kantor Wakil Presiden RI Jl. Medan Merdeka Utara No.15 Jakarta, Jum’at (01/11). Menag mengimbau kaum ibu menjaga gizi saat hamil, menjaga pola makanan dan senantiasa menjaga kesehatan. "Kita akan terus berikan penyuluhan," tegas Fachrul Razi. (sumber bimasislam.kemenag.go.id,  2 Nop 2019)
Setidaknya telah tiga (3) tahun berjalan Kementerian Agama RI melalui kantor urusan agama (KUA) di kecamatan atau kantor kementerian agama di tingkat kabupaten/kota telah menggalakkan bimbingan perkawinan (Binwin) bagi calon pengantin yang sudah mendaftar untuk melaksanakan nikah atau bagi remaja siap untuk usia nikah. Tujuan dilaksanakan binwin salah satunya adalah agar setiap calon pengantin memiliki pengetahuan dan persiapan yang lebih matang sehingga terciptanya keluarga yang bahagia lahir dan bathin. Selain itu binwin juga untuk memberikan wawasan pernikahan supaya pada saatnya nanti memiliki bekal kuat, juga  untuk memberikan peringatan bahaya seks pranikah dan laiinnya.
Salah satu sasaran dan disampaikan dalam materi binwin adalah kesehatan reproduksi serta kesehatan ibu dan anak. Untuk itu materi tersebut selain disampaikan oleh fasilitator yang terbimtek juga bisa dimantapkan materinya oleh petugas kesehatan dari dinas kesehatan atau dokter atau dari Puskesmas. Kantor urusan agama (KUA) di kecamatan bisa bersinergi dan bekerja sama dengan puskesmas kecamatan dalam memberikan penyuluhan kesehatan ibu dan anak dalam bimbingan perkawinan (binwin) supaya upaya menyehatkan bangsa bisa cepat terwujud.
Mengendalikan dan menghambat  problem stuting bisa dilaksanakan apabila semua KUA kecamatan atau kantor kementerian agama di tingkat kabupaten/kota bisa bekerjasama dengan baik dalam binwin di KUA atau penyelenggaraan kelas catin  di puskesmas. Sebagaimana yang sudah dilaksanakan di Kecamatan Duduksampeyan Gresik  sejak tahun 2017 sampai sekarang paling tidak sudah menyelenggarakan 10 kali binwin atau kelas catin.
Setiap binwin dilaksanakan selain diberikan materi kesehatan reproduksi,  hampir semua peserta binwin dari calon pengantin terutama calon istri diwajibkan untuk memeriksakan kesehatannya di puskesmas. Pemeriksaan secara umum dilakukan terutama cek darah guna mengetahui golongan darah dan hemoglobin (hb) khususnya bagi calon istri yang akan menjadi calon ibu bagi anak-anaknya. Hal ini untuk mempersiapkan kesehatan fisik dan mental calon produsen anak-anak masa depan bangsa.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan binwin atau kelas catin masih cukup klasik yaitu kendala dana kegiatannya. Sementara ini anggaran dana binwin di kementerian agama atau kelas catin di puskesmas hanya untuk beberapa kegiatan saja yang terbatas pesertanya.  Harapan kami sebagai penghulu atau KUA semoga anggaran kegiatan binwin atau kelas catin bisa ditambahkan dalam anggaran APBD selain dari APBN yang terbatas. Semoga impian kita menjadikan pasangan pengantin dan keluarga baru yang terbentuk bisa menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah serta keluarga yang kuat lahir batin, sehat orang tua, ayah ibu dan anaknya bisa diridloi Allah SWT. Menjadikan keluarga sehat dan kuat untuk Negara yang jaya, makmur sejahtera.
*) Penulis adalah Penghulu Madya/kepala KUA dan fasilitator Binwin Kab. Gresik

Merancang Masjid Inovatif



Oleh : NASICHUN AMIN GRESIK

Melanjutkan artikel penulis sebelumnya yang berjudul “Memulai Sistem Pembinaan Masjid sebagai salah satu Inovasi Pelayanan Umat” maka perlu dijelaskan lebih lanjut tentang program-program inonasi yang dapat dilakukan oleh masjid. Inovasi masjid yang dilakukan oleh pengelola masjid atau biasa disebut sebagai takmir masjid atau badan kemakmuran masjid merupakan wujud kemajuan pelayanan takmir kepada jama’ahnya.
Stigma masjid yang hanya mengurusi kegiatan ibadah mahdloh saja perlu secara berlahan namun pasti bisa dihapuskan. Walaupun pada dasarnya kewajiban utama adalah melayani pelaksanaan ibadah mahdloh tetapi bila kita kembalikan pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat sampai tabiin, maka fungsi masjid mencakup seluruh elemen kegiatan sosial kemasyarakatan bahkan konsep pengembangan ekonomi umat bisa juga dimusyawarakan melalui lembaga masjid.
Selain penataan urusan manajemen pengelolaan masjid yang lebih dahulu dilaksanakan dan dioperasionalkan ada beberapa contoh inovasi yang dapat dilakukan oleh takmir masjid. Diantaranya :

1)        Masjid mandiri sehat
Masjid yang telah melaksanakan kegiatan infaq sedekah rutin oleh jamaah dan hasilnya bisa digunakan kegiatan sosial seperti kegiatan cek kesehatan rutin bagi jama’ah bulanan, santunan/bantuan biaya berobat jama’ah atau jamaah yang mendapat musibah, bantuan beasiswa anak dlu’afa, atau bahkan dapat untuk membeli mobil ambulan guna pelayanan sosial. Kegiatan ini bisa bekerjasama dengan Dinas Kesehatan / Puskesmas, dan lembaga kesehatan atau rumah sakit/klinik terdekat. Lebih utama lagi apabila bisa membantu kegiatan tanggap becana & musibah di daerah lain.

2)        Masjid ramah anak,  remaja serta divabel
Masjid yang mempunyai program khusus untuk anak-anak dan remaja sehingga mereka sangat mencintai masjidnya dan mengadakan pembelajaran dan permainan yang bermanfaat di dalam masjid juga untuk jamaah berkebutuhan khusus. Masjid bisa mengkoordinir 1 pekan atau 2 pekan sekali kegiatan yang melibatkan anak-anak bekerja sama dengan TPQ atau lembaga pendidikan sekitarnya. Kegiatan untuk remaja dalam rangka mempersiapkan mereka di era milenial ini juga bisa dilakukan setiap pekan di masjid atau sekitarnya.
Remaja bisa kita arahkan mempunyaikegiatan positif terkait banyak hal. Juga bisa diarahkan ke pengembangan ekonomi produktif dan lainnya. Bisa bekerja sama dengan Dinas tenaga Kerja atau lembaga pelatihan yang ada.
Masjid juga menyediakan jalan atau alat khusus bagi jama’ah yang mempunyai kebituhan khusus karena kondisi fisiknya.

3)        Masjid produktif
Masjid yang mempunyai usaha ekonomi produktif yang sangat menunjang kegiatan kemakmuran masjid. Seperti persewaan mobil untuk ziyarah wisata rohani, persewaan alat-alat walimah, penyediaan konsumsi walimah untuk jama’ah dan lainnya. Masjid juga bisa berkerjasama dengan pengusaha yang sudah ada di sekitar masjid supaya masjid diberi wewenang memasarkan produknya dan tentunya ada bagi hasil yang dimasukkan kas infaq masjid.

4)        Masjid literasi pesantren & kajian Islam Washatiyah
Masjid yang bukan di dalam lingkup pesantren namun sangat aktif membina jamaahnya dalam kajian keilmuan terutama kajian kitab klasik yang biasa dikaji di pondok pesantren dan Islam Wasathiyah. Memang sangat berat untuk mengembangkan budaya literasi pada masyarakat kita apalagi bagi jamaah masjid. Tetapi kita harus berupaya secara bertahap, berlahan tetapi jelas arahnya. Tentunya harus mempunyai metode yang tepat untuk melaksanakan itu.

5)        Masjid Sakinah
Masjid yang melaksanakan kegiatan pembinaan rutin keluarga sakinah berbasis masjid dan mempunyai kelompok binaan keluarga sakinah yang aktif minimal 3 kelompok. Kegiatan ini bisa bekerjasama dengan berbagai elemen yang ada seperti kantor urusan agama (KUA) kecamatan, para penyuluh agama Islam, Tim Penggerak PKK desa dan lainnya.

6)        Masjid Pemberdayaan Muslimat
Peran kaum hawa dalam pemberdayaan umat harus dimantabkan dengan melaksanakan program khusus pemberdayaan perempuan atau muslimat. Pemberdayaan muslimat tidak hanya dengan pengembangan wawasan keilmuan dan keagamaan saja, namun juga dalam bidang keterampilan yang mengarah kepada ekonomi produktif berbasis rumah tangga yang bisa digerakkan melalui masjid. Kegiatan ini bvisa bekerja sama dengan Kantor Pemberdayaan Wanita, Dinas Tenaga Kerja atau lembaga pelatihan yang ada.


7)      Masjid Pengelola Sampah & Limbah Rumah Tangga
Masjid yang punya program mengumpulkan sampah ( bank sampah ) khususnya sampah plastik dan kertas yang bisa didaur ulang atau dijual kembali. Hasilnya masuk kas masjid untuk kegiatan kemakmuran masjid. Pengelolaan sampah plastik dan limbah rumah tangga lainnya  bukan sekedar mendapatkan hasil ekonomis walaupun sangat minim. Tetapi arah dan tujuan penting adalah pendidikan kepada umat akan bahaya sampah plastik dan limbah lainnya kalau tidak dikelola dengan baik

8)      Masjid berwawasan lingkungan
Hampir sama dengan masjid pengelola sampah, masjid berwawasan lingkungan juga memanfaatkan limbah terutama air wudlu dan memanfaatkan lahan sekitar untuk kegiatan penghijauan. Kegiatan ini bisa bekerjasama dengan Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup dan lembaga terkait.

9)      Masjid inklusif 24 jam
Membuka masjid 24 jam untuk umat terutama bagi para musafir bisa istirahat sejenak dengan nyaman dan aman. Fasilitas lainnya juga disiapkan seperti minuman hangat/segar dan makanan ringan yang sangat membantu para musafir guna melanjutkan perjalanan nya dengan kondisi segar dan bugar.

10)  Masjid pengajian layar lebar rutin
Media sosial dan berkembangnya tekhnologi harus kita manfaatkan untuk dakwah termasuk fasilitas media dakwah yang ada di youtube, facebook dan lainnya. Itu bisa kita manfaatkan dalam bedakwah dengan memutar video ceramah atau mauidloh para kyai atau muballigh ternama serta mempunyai wawasan yang luas dengan menggunakan LCD Proyektor / layar lebar di masjid dalam waktu waktu tertentu.

11)  Masjid Kontra Radikalisme & Anti Markoba, Miras & Pornografi
Yaitu masjid yang secara berkala , minimal 2 bulan sekali ada kegiatan pembinaan jamaah terkait Kontra Radikalisme, Anti Narkoba, Miras , pornografi dan kemungkaran lainnya dengan dakwah bil hal, serta mengedarkan pamphlet mendukung program tersebut. Kegiatan ini bisa bekerjasama dengan POLRES, POLSEK atau DANRAMIL serta OKP yang ada.


Program-program inovatif di atas hanyanya sedikit contoh yang bisa dilakukan oleh takmir masjid untuk meningkatkan pelayanan kepada jama’ah masjid atau mengajak partisipasi jama’ah dalam meningkatkan kegiatan positif yang bernilai ibadah serta sosial. Masih banyak inovasi lain yang bisa digagas oleh umat Islam dan para memerhati kemakmuran masjid. Kepada para pembaca yang ingin berkolaborasi pengembangan pelayanan kemasjidan penulis sangat berharap bisa sharing ide dan gagasan bersama untuk kemakmuran masjid. Mewujudkan slogan “Dari masjidNYA kita makmurkan Indonesia”. Hal ini tidak sekedar apa yang bisa ditawarkan kepada jama’ah tetapi bukti bahwa masjid bisa berinovasi dan mengembangkan Islam Rohmatan lil Alamin dan wujud moderasi beragama.

*) Penulis adalah penghulu madaya / kepala KUA, Ketua LTM PCNU Gresik dan Ketua II PD Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kab. Gresik