Kamis, 16 Mei 2019
AMIL ZAKAT & UNIT PENGUMPUL ZAKAT (UPZ)
Oleh : NASICHUN AMIN (Ketua LTMNU Gresik, Korbid Hukum PD DMI Gresik )
Acara Pembinaan Manajemen Zakat
Dasar Hukum :
1. Al-Qur’an Surat At Taubah ayat 103 dan ayat 60, Hadits Rosulullah, Ijma’ Ulama
2. UU Nomor 23/2011 dan PP Nomor 14 / 2014 tentang PENGELOLAAN ZAKAT
Intisari :
Amil wajib ada
Amil ada 2 macam (menurut UU 23/2011 > PP 14/2014) ;
1. Amil yang dibentuk dan dianggkat langsung oleh pemerintah (BAZNAS = Pusat, Propinsi, & Kabupaten Kota). Ada persyaratan dan aturan khusus.
2. Amil yang dibentuk oleh masyarakat dan di SK oleh pemerintah = Lembaga Amil Zakat (LAZ) => LAZIS NU, LAZIS MU, DOMPET DLUAFA, YDSF , HIDAYATULLAH, NURUL HAYAT, YATIM MANDIRI dan lain-lain. Ada persyaratan dan aturan khusus
BAZNAS mengangkat pembantu/pegawai dan UPZ (unit pengumpul zakat). BAZNAS Kab/Ko membentuk UPZ tingkat Dinas, UPT, Instansi, Kantor, Desa/Kelurahan, Masjid dan lain-lain.
LAZ mengangkat pembantu/pegawai, Kantor Perwakilan, Kantor Kas, serta UPZ dan sukarelawan.
UPZ tugas utama mengumpulan dan membantu distribusi
Supaya sah menjadi Amil Zakat , Panitia Zakat di Masjid, Lembaga Pendidikan dan lembaga lainnya harus meminta SK pengesahan dari BAZNAS / LAZ sebagai unitnya / UPZ.
Bila tidak mendapat SK maka panitia atau lembaga harus bertanggungjawab apabila melakukan kesalahan dan bisa dikenai sanksi pidana.
BAZNAS dan LAZ wajib memberi pembinaan dan arahan yang jelas dalam pelaksanaan tugas unit yang ada.
Ketentuan Hukum FATWA MUI Nomor 08 tahun 2011
1. Amil zakat adalah :
a. Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat; atau
b. Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.
2. Amil zakat harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Beragama Islam;
b. Mukallaf (berakal dan baligh);
c. Amanah;
d. Memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum zakat dan hal lain yang terkait dengan tugas Amil zakat.
3. Amil zakat memiliki tugas :
a. penarikan/pengumpulan zakat yang meliputi pendataan wajib zakat, penentuan objek wajib zakat, besaran nishab zakat, besaran tarif zakat, dan syarat-syarat tertentu pada masing-masing objek wajib zakat;
b. pemeliharaan zakat yang meliputi inventarisasi harta, pemeliharaan, serta pengamanan harta zakat; dan
c. pendistribusian zakat yang meliputi penyaluran harta zakat agar sampai kepada mustahiq zakat secara baik dan benar, dan termasuk pelaporan.
4. Pada dasarnya, biaya operasional pengelolaan zakat disediakan oleh Pemerintah (ulil amr).
5. Dalam hal biaya operasional tidak dibiayai oleh Pemerintah, atau disediakan Pemerintah tetapi tidak mencukupi, maka biaya operasional pengelolaan zakat yang menjadi tugas Amil diambil dari dana zakat yang merupakan bagian Amil atau dari bagian Fi Sabilillah dalam batas kewajaran, atau diambil dari dana di luar zakat.
6. Kegiatan untuk membangun kesadaran berzakat – seperti iklan – dapat dibiayai dari dana zakat yang menjadi bagian Amil atau Fi Sabilillah dalam batas kewajaran, proporsional dan sesuai dengan kaidah syariat Islam.
7. Amil zakat yang telah memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta dalam tugasnya sebagai Amil tidak berhak menerima bagian dari dana zakat yang menjadi bagian Amil. Sementara amil zakat yang tidak memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta berhak menerima bagian dari dana zakat yang menjadi bagian Amil sebagai imbalan atas dasar prinsip kewajaran.
8. Amil tidak boleh menerima hadiah dari muzakki dalam kaitan tugasnya sebagai Amil.
9. Amil tidak boleh memberi hadiah kepada muzakki yang berasal dari harta zakat.
At Taubah Ayat 103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
At Taubah Ayat 60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
“Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman bersabda : … … … Dan beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan zakat yang diambil dari harta orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada para orang-orang fakir di antara mereka “. (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
“Rasulullah SAW menugaskan seorang laki-laki dari bani Al-Asdi yang bernama Ibnu Al-Lutbiyyah sebagai Amil zakat di daerah bani Sulaim, kemudian Rasulullah SAW melakukan evaluasi atas tugas yang telah ia laksanakan “. (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Humaid Al-Saa’idy)
“Umar RA telah menugaskan kepadaku untuk mengurus harta zakat, maka tatkala telah selesai tugasku, beliau memberiku bagian dari harta zakat tersebut, aku berkata : sesungguhnya aku melakukan ini semua karena Allah SWT, semoga Allah kelak membalasnya. Beliau berkata : Ambillah apa yang diberikan sebagai bagianmu, sesungguhnya aku juga menjadi amil zakat pada masa Rasulullah SAW dan beliau memberiku bagian (dari harta zakat), saat itu aku mengatakan seperti apa yang kau katakan, maka Rasulullah SAW bersabda : Apabila engkau diberi sesuatu yang engkau tidak memintanya maka ambillah untuk kau gunakan atau sedekahkan. (HR Muslim dari seorang Tabi’in yang bernama Ibnu Al-Sa’di)
Pendapat Ibnu Qosim dalam Kitab Fathul Qorib (Syarah Bajuri 1/543) yang menjelaskan tentang definisi Amil sebagai berikut :
“Amil zakat adalah seseorang yang ditugaskan oleh imam (pemimpin negara) untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat “
Pendapat Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab ( 6/168 ) mengenai orang-orang yang dapat masuk kategori sebagai Amil sebagai berikut:
“Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat : Dan diberi bagian dari bagian Amil yaitu ; Pengumpul wajib zakat, orang yang mendata, mencatat, mengumpulkan, membagi dan menjaga harta zakat. Karena mereka itu termasuk bagian dari Amil Zakat. Tegasnya, mereka mendapatkan bagian dari bagian Amil sebesar 1/8 dari harta zakat karena mereka merupakan bagian dari Amil yang berhak mendapatkan upah sesuai dengan kewajarannya.
Apakah Panitia Zakat Sama Dengan Amil ?
oleh NASICHUN AMIN
Ketika menjelaskan firman Allah di surat at Taubat: 60,
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"
Fakhruddin ar Razi mengatakan, “Kandungan hukum yang kedua, ayat di atas menunjukkan bahwa penguasa atau orang yang diangkat oleh penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil dan mendistribusikan harta zakat. Sisi pendalilannya, Allah menetapkan bahwa amil mendapatkan bagian dari zakat. Ini menunjukkan bahwa untuk membayarkan zakat harus ada amil.
والعامل هو الذي نصبه الإمام لأخذ الزكات
Sedangkan amil adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat (bukan sekedar menerima zakat, pent).
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (QS at Taubah:103).
Oleh karena itu mengatakan bahwa pemilik harta itu diperbolehkan untuk membayarkan zakat hartanya yang tersembunyi (yaitu zakat uang, pent) secara langsung adalah berdasarkan dalil yang lain. Mungkin di antara dalil yang menunjukkan pernyataan ini adalah firman Allah,
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta” (QS adz Dzariyat:19).
Jika zakat adalah hak orang miskin yang meminta-minta dan yang tidak meminta-minta maka tentu dibolehkan menyerahkan zakat secara langsung kepada yang berhak menerima” (Mafatiih al Ghaib atau Tafsir ar Razi 8/77, Maktabah Syamilah).
Ketika membahas hadits Ibnu Abbas tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman, Ibnu Hajar al Asqolani berkata, “Hadits ini bisa dijadikan dalil bahwa penguasalah yang memiliki otoritas untuk mengambil zakat dan menditribusikannya baik secara langsung ataupun melalui orang yang dia angkat. Barang siapa yang menolak untuk membayar zakat maka akan diambil secara paksa” (Fathul Bari 5/123 hadits no 1401, Maktabah Syamilah).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, „Ambillah zakat dari harta mereka‟ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ketika menjelaskan firman Allah dalam surat at Taubah ayat yang ke-60, al Qurthubi al Maliki mengatakan, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang diangkat oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dengan status sebagai wakil penguasa dalam masalah tersebut” (al Jami‟ li Ahkam al Qur‟an, 8/177 Maktabah Syamilah).
Asy Syaerozi asy Syafii mengatakan, “Penguasa memiliki kewajiban untuk mengangkat amil untuk mengambil zakat karena Nabi dan para khalifah setelahnya selalu mengangkat petugas zakat. Alasan lainnya adalah karena di tengah masyarakat ada orang yang memiliki harta namun tidak mengatahui kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Demikian pula diantara mereka ada yang memiliki sifat pelit sehingga penguasa wajib mengangkat petugas. Petugas yang diangkat penguasa haruslah orang yang merdeka (bukan budak), baik agamanya dan bisa dipercaya karena status sebagai amil zakat adalah sebuah kekuasaan dan amanah. Sedangkan seorang budak dan orang yang fasik tidak berhak diberi kekuasaan dan amanah. Penguasa tidak boleh mengangkat sebagai amil zakat kecuali orang yang faham fiqih karena hal ini membutuhkan pengetahuan tentang harta yang wajib dizakati dan yang tidak wajib dizakati serta perlu adanya ijtihad berkaitan dengan berbagai
permasalahan dan hukum zakat yang dihadapi”(al Muhadzab hal 308 dan al Majmu‟ Syarh al Muhadzab 6/167, Maktabah Syamilah)
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala…. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat” (Majalis Syahri Ramadhan hal 163-164, cet Darul Hadits Kairo).
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat” (Fiqh Sunnah 1/327, terbitan Dar al Fikr Beirut).
Syeikh Shalih al Fauzan, salah seorang ulama dari Arab Saudi, menjelaskan, “Amil zakat adalah para pekerja yang bertugas mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan oleh penguasa kaum muslimin. Mereka diberi dari sebagian zakat sesuai dengan upah yang layak diberikan untuk pekerjaan yang mereka jalani kecuali jika pemerintah telah menetapkan gaji bulanan untuk mereka yang diambilkan dari kas Negara karena pekerjaan mereka tersebut. Jika demikian keadaannya, sebagaimana yang berlaku saat ini (di Saudi, pent), maka mereka tidak diberi sedikitpun dari harta zakat karena mereka telah mendapatkan gaji dari negara” (al Mulakhash al Fiqhi 1/361-362, cet Dar al „Ashimah Riyadh).
„Adil bin Yusuf al „Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya” (Tamam al Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah 2/290, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir).
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar‟i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Sayid Sabiq berkata, “Siapa yang menolak untuk membayar zakat padahal dia menyakini kewajibannya maka dia berdosa karena tidak mau membayar zakat meski hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam. Penguasa memiliki kewajiban untuk mengambil harta zakat tersebut secara paksa darinya serta memberikan hukuman atas sikap orang tersebut” (Fiqh Sunnah 1/281).
Minggu, 12 Mei 2019
FENOMENA QIBLAT DAY (28 Mei & 16 Juli) DAN UPAYA KUA MENGUKUR AKURASI ARAH KIBLAT TEMPAT IBADAH UMAT MUSLIM
Oleh : NASICHUN AMIN*
Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat kecuali dalam
dua kondisi, yakni ketika kondisi teramat bahaya (perang berkecamuk) dan shalat
sunnah yang dikerjakan saat perjalanan. Ini adalah pendapat Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin
Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i . Masih menurut beliau ada dua kondisi terkait
menghadap kiblat yang nanti akan memberikan konsekuensi hukum yang berbeda,
yakni: Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib baginya
menghadap ‘ain kiblat. Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat dulu,
jika ia tahu arah kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang
terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu
berijtihad lagi, jika ia melihat sekumpulan muslimin di suatu tempat shalat
menghadap ke sebuah arah, maka ia tidak perlu ijtihad, karena hal itu sama saja
seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu, jika ia
adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan kondisinya jauh dari
Makkah, ia mesti berijtihad mencari arah kiblat menggunakan metode bisa dari
melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup, maka wajib baginya
berijtihad sebagaimana orang alim berijtihad menyikapi persoalan fiqih terbaru.
Pengalaman penulis dalam beberapa pelaksanaan
tugas pelayanan permohonan pengukuran arah kiblat masjid atau ibadah masih ada
beberapa tempat ibadah arah kiblatnya kurang presisi bahkan ada yang mencapai
selisih 10 derajat lebih. Hal ini membuktikan bahwa sangat penting untuk
melakukan penelitian atau survey ulang arah kiblat yang ada di tempat ibadah
umat Islam dan member sertipikat arah kiblat sebagai bukti telah dilakukan
pengukuran sesuai dengan metode yang lebih tepat.
Cara memperbaharui
arah kiblat yang kurang tepat dengan arah kiblat yang benar bukanlah perkara
yang sulit, akan tetapi realisasinya di masyarakat. Hal tersebut akan
menimbulkan polemik jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Dalam konteks zaman sekarang, perkembangan teknologi sangat
membantu untuk menentukan arah kiblat, bahkan pada titik koordinat keberadaan
Ka’bah yang akurat. Berbagai fasilitas seperti GPS, kompas, theodolit, dan
sejumlah aplikasi di android seyogianya dimanfaatkan untuk usaha pencarian
posisi kiblat yang tepat. Dengan berbagai kemudahan ini, keterbatasan
pengetahuan untuk mengetahui posisi Ka’bah bisa diminimalisasi.
Akan
tetapi tidak semua wilayah bisa memanfaatkan fonemena Qiblat Day di kota Makkah
ini untuk menentukan arah kiblat, termasuk Makkah sendiri. Pada saat Qiblat
Day, matahari berada diatas Ka’bah sehingga benda yang berdiri tegak di sekitar
Ka’bah (Makkah) tidak menimbulkan bayangan sama sekali. Semakin dekat dengan
Ka’bah semakin sulit menggunakan momen Qiblat Day ini.
Penentuan
qiblat pada saat Qiblat Day ini hanya bisa digunakan oleh kaum muslimin dari
tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa, sementara Amerika dan Australia tidak
bisa memanfaatkan momen ini karena pada saat tersebut di Amerika matahari belum
terbit dan di Australia matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Wilayah
Indonesia juga bisa memanfaatkan fonemena ini kecuali Indonesia bagian timur. Secara
umum negara-negara yang bisa memanfaatkan qiblat day ini hanya negara yang
perbedaan waktunya tidak lebih dari 5 jam dengan waktu Makkah, atau bujurnya
tidak lebih dari 90º dari Makkah ke barat maupun ke timur.
Qiblat Day sangat bagus untuk dimanfaatkan
bagi segenap ta’mir masjid atau musholla dalam rangka mengukur akurasi arah
kiblat di setiap tempat ibadah umat Islam baik masjid maupun musholla. Namun tentunya
para ta’mir masjid atau musholla tidak semua mengerti atau bahkan sebagian
besar mereka sangat awam perihal tata cara menggunakan fenomena Qiblat Day ini.
Oleh karena itu kantor urusan agama (KUA)
melalui penghulu dan penyuluh agama Islam yang berada di kecamatan sebagai
ujung tombak Kementerian Agama RI dalam penerapan syari’at Islam di daerah
seharusnya proaktif memberikan penjelasan atau penyuluhan atau minimal membuat
dan mengedarkan sosialisasi melalui surat kepada segenap ta’mir masjid maupun
musholla. Upaya KUA ini sebenarnya sangat mudah apalagi bisa bekerjasama dengan
lembaga atau ormas Islam yang ada di daerah masing-masing seperti Dewan Masjid
Indonesia atau Majelis Ulama Indonesia serta Ormas Nu atau Muhammadiyah. (
artikel diambil dari berbagai sumber )
*Penghulu
Madya/Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Gresik
Kamis, 09 Mei 2019
RUKYATUL HILAL SEMAKIN RAMAI, ILMU HISAB SEMAKIN DIMINATI
Oleh : Nasichun Amin*
Dalam waktu 10 tahun terakhir ini
pelaksanaan rukyatul hilal di beberapa tempat atau markaz (pusat) pengamatan
hilal atau bulan baru semakin lama semakin ramai atau marak. Pengamatan hilal
sebagai upaya mencari tanda tanda masuknya awal bulan dalam kalender qomariyah
atau lebih dikenal dengan hijriyah semakin ramai didatangi oleh masyarakat
bahkan dari generasi muda. Lebih utama ketika dalam kegiatan yang menentukan
awal bulan puasa di Bulan Ramadhan dan awal Bulan Syawal untuk penanda hari
raya Idul Fitri. Itsbat atau penetapan awal dimulai Bulan Ramadhan, Syawal atau
Dzulhijjah yang dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini dikoordinasikan
oleh Kementerian Agama RI tidak akan terjadi kalau tidak ada laporan resmi dan
tersumpah dari beberapa tempat atau markaz rukyatul hilal.
Seperti yang terjadi di awal
Bulan Ramadhan 1440 hijriyah beberapa hari lalu. Tidak kurang dari 700 orang
berdesak desakkan di bangunan yang berada di puncak bukit kecil terletak di kawasan tengah Kota Gresik . Tempat yang
dikenal sebagai Balai Rukyat PCNU Bukit Condrodipo di Desa Kembangan Kecamatan
Kebomas Kabupaten Gresik yang didirikan sejak tahun 2005 hampir setiap awal
menjelang Bulan Ramadhan , Syawal dan Dzulhijjah dipenuhi oleh para perukyat atau masyarakat
yang ingin ikut berusaha meyaksikan hilal atau bulan baru baik dengan kasat
mata atau dengan membawa peralatan astronomi. Tidak kurang dari 15 alat teleskop berbagai
jenis atau alat teropong benda langit
lainnya baik manual maupun digital atau otomatis terpasang menghadap barat ke
arah dimana matahari tenggelam. Bahkan
teleskop handmade atau rakitan tangan juga sudah banyak dibawa oleh para
perukyat pemula atau calon ahli astronomi Islam di masa depan.
Hampir di setiap propinsi
memiliki tempat untuk dijadikan markaz rukyatul hilal. Bahkan di beberapa
propinsi mempunyai beberapa bahkan puluhan lokasi yang ditetapkan sebagai balai
rukyat resmi oleh lembaga falakiyah. Kalau dijumlah keseluruhannya sebagaimana
dalam berita di bimasislam.kemenag.go.id
tentang lokasi-lokasi rukyatul hilal maka sudah lebih dari 100 lokasi
tempat untuk mengintip munculnya hilal yang didahului dengan terbenamnya sang
surya di seantero wilayah nusantara ini. Walaupun tidak semua yang hadir
memahami secara mendalam apa dan bagaimana rukyatul hilal namun paling tidak
terbukti rukyatul hilal semakin banyak diminati oleh umat. Ini sebagai wujud
semakin berkembangnya ilmu astronomi Islam dalam kehidupan masyarakat. Terutama
di kalangan akademisi semakin banyak dibuka program khusus pendidikan
astronomi Islam atau hisab rukyat.
Walaupun persoalan hisab dan
rukyat telah menyita energi umat Islam demikian besarnya, sehingga ukhuwah kadang terganggu justru pada saat
perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Sekian lama kita terpaku dan terbelenggu
pada masalah, bukan pada solusi. Seolah persoalannya hanya sekedar perbedaan
metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan hilal) yang menurut
sebagian ahli mustahil untuk dipersatukan, sama mustahilnya untuk menyatukan
madzhab yang berbeda-beda.
Rosulullah Muhammad SAW
mensyari’atkan penentuan bulan baru dengan rukyatul hilal karena cara inilah
yang dianggap paling sesuai, paling mudah dan tidak menyulitkan serta sudah familiar
bagi umat Islam saat itu. Terlebih lagi pada hadits sebelumnya Nabi menjelaskan
bahwa umat pada massa itu dalam keadaan ummi yakni tidak bisa menulis dan
mengghitung. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Fiqh al-Shiyam (Dar al-Wafa, 1991, Hal. 23) bahwa penggunaan
metode rukyat merupakan rahmat dari Allah karena Allah tidak memerintahkan
untuk melakukannya dengan jalan hisab yang tidak dikenal pada saat itu. Sampai
sekarang metode rukyat masih dipakai.
Sementara itu, penggunaan metode hisab sebagai alternatif dalam menetapkan
tanggal baru Bulan Qamariyah khususnya yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan
ibadah bila dilihat dari sejarahnya bukanlah termasuk hal yang baru sebagaimana
telah disinyalir oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid bahwa penggunaan
hisab sebagai penentu dalam menetapkan awal bulan sudah dilakukan oleh sebagian
ulama salaf, diantaranya dipelopori oleh Matorif bin al-Syahr.
Pada prakteknya rukyatul hilal
tidak bisa terlepas dari ilmu hisab dan hisab juga tidak akan terbukti tanpa
rukyatul hilal sebagai observasi atau
pembuktian dari hasil yang diperoleh dari ilmu hisab. Perkembangan ilmu hisab
sejak zaman batu sampai zaman modern saat ini juga selalu berkembang dan itu
karena adanya observasi atau pengamatan dan pembuktian yang dilakukan salah
satunya dengan rukyatul hilal. Fenomena
semakin ramai dan semaraknya kegiatan rukyatul hilal tentunya tidak terlepas
dari semakin massif dan berkembangnya pendidikan ilmu hisab yang tersebar baik
di pondok pesantren maupun di perguruan tinggi. Mari kita bersama mensyukuri
adanya perkembangan zaman yang semakin modern juga diikuti dengan meningkatnya
minat dan bakat anak-anak kita dalam mempelajari Ilmu Astronomi Islam yang
merupakan peninggalan para ulama salaf pendahulu kita.
*Anggota Lembaga Falakiyah PCNU
Gresik dan Penghulu/Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Gresik.
PENINGKATAN FUNGSI SOSIAL MASJID DENGAN PEMBENTUKAN UPZ MASJID
Oleh : NASICHUN AMIN
(Penghulu - Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Gresik)
Sudah difahami secara
umum bahwa fungsi utama masjid adalah tempat shalat berjama’ah khususnya shalat
5 waktu dan juga shalat jama’ah jumat. Namun fungsi fungsi lainnya sejak awal
didirikannya masjid oleh Nabi Muhammad SAW di Kota Madinah juga berjalan dalam
kehidupan kemasyarakatan terutama di sekitar lingkungan bangunan masjid.
Pengumpulan dana sosial dari umat untuk kepentingan mengembangkan ajaran agama
Islam juga dimulai dari masjid. Saat ini masjid berdiri di setiap kampong
bahkan di setiap gang di perkotaan khususnya di Pulau Jawa yang sangat padat
penduduknya berdiri masjid.
Sampai saat ini pun
fungsi sosial pengumpulan dana umat yang diarahkan untuk kegiatan sosial masih
tampak di masjid-masjid. Tidak hanya di masjid, tetapi
lembaga lain di masyarakat atau secara peroranganpun banyak yang melakukan
kegiatan sosial ini. Masyarakat yang merasa membutuhkan berbondong bondong
membajiri tempat pembagian ZIS sampai beberapa kali timbul kericuan dalam
pendistribusian ZIS dan bahkan timbul korban jiwa karena kecerobohan dan
kesemrawutan dalam pembagiannya akibat berdesak-desakan dan saling berebutan.
Apabila melihat sejarah perkembangan Islam
di Indonesia khususnya ketika zaman penjajahan Belanda maupun Jepang di
Indonesia, Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun
1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai
pemerintah, termasuk priyayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat.
Kebijakan ini dikeluarkan karena khawatir dengan perkembangan Islam dan upaya
untuk memisahkan agama dari urusan kehidupan. Kebijakan ini mengubah praktek
pengelolaan zakat di Indonesia saat itu. Kesadaran masyarakat untuk berzakat
menjadi menurun dan sebagian lagi menyerahkan zakat mereka ke individu ulama
dengan harapan mendapat syafaat dari Allah Yang Maha Kuasa.
Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai masalah intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang ekonomi dan sosial. Dilanjutkan pada tahun 2001 setelah terbentuknya Badan Amil Zakat di tingkat pusat pemerintah mencanangkan Gerakan Sadar Zakat Nasional. Pada tahun 2011 pemerintah memperbaharui peraturan pengelolaan zakat sesuai dengan kondisi yang ada dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan ditindanlanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014.
Dalam undang-undang tersebut ada persyaratan administratif yang tentang Pengelolaan Zakat. Misalnya amil harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan sebagainya. Walaupun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang."
Namun seiring telah berjalannya operasioonal BAZNAS yang sudah banyak aktif di sampai di tingkat kabupaten serta Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh organisasi masyarakat keagamaan dan telah mendapat izin resmi dari pemerintah maka secara hukum Islam, amil di masjid dan mushala harus mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh BAZNAS
Untuk mengetahui pihak yang berwenang mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat diketahui bahwa ada tiga Pengelola Zakat yang ada di Indonesia. Pertama adalah Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ.
Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai masalah intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang ekonomi dan sosial. Dilanjutkan pada tahun 2001 setelah terbentuknya Badan Amil Zakat di tingkat pusat pemerintah mencanangkan Gerakan Sadar Zakat Nasional. Pada tahun 2011 pemerintah memperbaharui peraturan pengelolaan zakat sesuai dengan kondisi yang ada dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan ditindanlanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014.
Dalam undang-undang tersebut ada persyaratan administratif yang tentang Pengelolaan Zakat. Misalnya amil harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan sebagainya. Walaupun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang."
Namun seiring telah berjalannya operasioonal BAZNAS yang sudah banyak aktif di sampai di tingkat kabupaten serta Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh organisasi masyarakat keagamaan dan telah mendapat izin resmi dari pemerintah maka secara hukum Islam, amil di masjid dan mushala harus mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh BAZNAS
Untuk mengetahui pihak yang berwenang mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat diketahui bahwa ada tiga Pengelola Zakat yang ada di Indonesia. Pertama adalah Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ.
Peran kantor urusan agama (KUA) sangat
penting dan strategis dalam upaya meningkatkan kualitas ibadah rukun
Islam yang ketiga setelah sholat. KUA institusi negara di bidang agama yang
paling dekat dan bersentuhan langsung dengan masjid dan musholla. Peran
KUA sangat dibutuhkan dalam menata pengelolaan zakat supaya lebih terarah dan
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu juga sudah menjadi
salah satu fungsi KUA sebagaimana dalam pasal 3 ayat 1 huruf e dan huruf h
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Urusan Agama disebutkan bahwa KUA mempunyai fungsi pelayanan
bimbingan kemasjidan juga pelayanan bimbingan zakat dan wakaf. Namun itu semua
tergantung kemauan, kondisi dan situasi yang ada karena kondisi sumber daya
manusia KUA di beberapa daerah sangat minim.
KUA bersama penghulu dan atau penyuluh agama Islam yang ada dapat berkoordinasi dengan BAZNAS atau LAZ yang ada dalam bimbingan dan penyuluhan zakat kepada para ta’mir masjid dan musholla. Bimbingan dilanjutkan pelatihan administrasi zakat kepada ta’mir masjid dan musholla dilakukan secara berkelanjutan sehingga pengelolaan zakat yang meliputi pengumpulan dan distribusinya berjalan dengan baik dan akuntabel. Tentunya kepanitiaan zakat yang sudah biasa terbentuk harus tetap dilibatkan dan disahkan dengan memberikan surat keputusan pengesahan (SK) sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) yang merupakan bagian dari BAZNAS atau LAZ
Walaupun dalam struktur disebut sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) namun juga menjadi kepanjangan tangan BAZNAS atau LAZ dalam membantu distribusinya karena dalam fiqh zakat dijelaskan bahwa hasil pengumpulan zakat di suatu daerah lebih utama dibagikan ke mustahiq di daerah asal perolehan zakat tersebut dan yang paling mengetahui perihal mustahiq zakat adalah lembaga yang terdekat yaitu masjid dan musholla sekitarnya. Dengan demikian baik pengumpulan zakat infaq-shodaqoh maupun pendistribusian bisa lebih maksimal dan lebih tepat sasaran.
Pada akhirnya sudah menjadi keniscayaan di
setiap masjid harus ditata pengeloaan fungsi sosial sesuai ketentuan peraturan
yang ada. Pengajuan permohonan legalitas masjid sebagai unit pengumpul zakat (UPZ)
dikoordinir oleh KUA kecamatan setempat atau para penghulu dan penyuluh agama
Islam ataupun secara mandiri oleh pengurus ta’mir masjid kepada BAZNAS atau LAZ.
Alhamdulillah, menurut informasi dari BAZNAS Kabupaten Gresik menjelang
Ramadhan 1440 H ini di wilayah Kabupaten Gresik sejumlah 115 masjid dari 1.100 masjid se Kabupaten
Gresik sudah mendapatkan SK sebagai UPZ yang ada berguna untuk bisa
meningkatkan fungsi sosial nya.KUA bersama penghulu dan atau penyuluh agama Islam yang ada dapat berkoordinasi dengan BAZNAS atau LAZ yang ada dalam bimbingan dan penyuluhan zakat kepada para ta’mir masjid dan musholla. Bimbingan dilanjutkan pelatihan administrasi zakat kepada ta’mir masjid dan musholla dilakukan secara berkelanjutan sehingga pengelolaan zakat yang meliputi pengumpulan dan distribusinya berjalan dengan baik dan akuntabel. Tentunya kepanitiaan zakat yang sudah biasa terbentuk harus tetap dilibatkan dan disahkan dengan memberikan surat keputusan pengesahan (SK) sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) yang merupakan bagian dari BAZNAS atau LAZ
Walaupun dalam struktur disebut sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) namun juga menjadi kepanjangan tangan BAZNAS atau LAZ dalam membantu distribusinya karena dalam fiqh zakat dijelaskan bahwa hasil pengumpulan zakat di suatu daerah lebih utama dibagikan ke mustahiq di daerah asal perolehan zakat tersebut dan yang paling mengetahui perihal mustahiq zakat adalah lembaga yang terdekat yaitu masjid dan musholla sekitarnya. Dengan demikian baik pengumpulan zakat infaq-shodaqoh maupun pendistribusian bisa lebih maksimal dan lebih tepat sasaran.
Langganan:
Postingan (Atom)