Oleh : NASICHUN AMIN
(Penghulu - Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Gresik)
Sudah difahami secara
umum bahwa fungsi utama masjid adalah tempat shalat berjama’ah khususnya shalat
5 waktu dan juga shalat jama’ah jumat. Namun fungsi fungsi lainnya sejak awal
didirikannya masjid oleh Nabi Muhammad SAW di Kota Madinah juga berjalan dalam
kehidupan kemasyarakatan terutama di sekitar lingkungan bangunan masjid.
Pengumpulan dana sosial dari umat untuk kepentingan mengembangkan ajaran agama
Islam juga dimulai dari masjid. Saat ini masjid berdiri di setiap kampong
bahkan di setiap gang di perkotaan khususnya di Pulau Jawa yang sangat padat
penduduknya berdiri masjid.
Sampai saat ini pun
fungsi sosial pengumpulan dana umat yang diarahkan untuk kegiatan sosial masih
tampak di masjid-masjid. Tidak hanya di masjid, tetapi
lembaga lain di masyarakat atau secara peroranganpun banyak yang melakukan
kegiatan sosial ini. Masyarakat yang merasa membutuhkan berbondong bondong
membajiri tempat pembagian ZIS sampai beberapa kali timbul kericuan dalam
pendistribusian ZIS dan bahkan timbul korban jiwa karena kecerobohan dan
kesemrawutan dalam pembagiannya akibat berdesak-desakan dan saling berebutan.
Apabila melihat sejarah perkembangan Islam
di Indonesia khususnya ketika zaman penjajahan Belanda maupun Jepang di
Indonesia, Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun
1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai
pemerintah, termasuk priyayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat.
Kebijakan ini dikeluarkan karena khawatir dengan perkembangan Islam dan upaya
untuk memisahkan agama dari urusan kehidupan. Kebijakan ini mengubah praktek
pengelolaan zakat di Indonesia saat itu. Kesadaran masyarakat untuk berzakat
menjadi menurun dan sebagian lagi menyerahkan zakat mereka ke individu ulama
dengan harapan mendapat syafaat dari Allah Yang Maha Kuasa.
Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai masalah intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang ekonomi dan sosial. Dilanjutkan pada tahun 2001 setelah terbentuknya Badan Amil Zakat di tingkat pusat pemerintah mencanangkan Gerakan Sadar Zakat Nasional. Pada tahun 2011 pemerintah memperbaharui peraturan pengelolaan zakat sesuai dengan kondisi yang ada dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan ditindanlanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014.
Dalam undang-undang tersebut ada persyaratan administratif yang tentang Pengelolaan Zakat. Misalnya amil harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan sebagainya. Walaupun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang."
Namun seiring telah berjalannya operasioonal BAZNAS yang sudah banyak aktif di sampai di tingkat kabupaten serta Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh organisasi masyarakat keagamaan dan telah mendapat izin resmi dari pemerintah maka secara hukum Islam, amil di masjid dan mushala harus mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh BAZNAS
Untuk mengetahui pihak yang berwenang mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat diketahui bahwa ada tiga Pengelola Zakat yang ada di Indonesia. Pertama adalah Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ.
Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai masalah intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang ekonomi dan sosial. Dilanjutkan pada tahun 2001 setelah terbentuknya Badan Amil Zakat di tingkat pusat pemerintah mencanangkan Gerakan Sadar Zakat Nasional. Pada tahun 2011 pemerintah memperbaharui peraturan pengelolaan zakat sesuai dengan kondisi yang ada dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan ditindanlanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014.
Dalam undang-undang tersebut ada persyaratan administratif yang tentang Pengelolaan Zakat. Misalnya amil harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan sebagainya. Walaupun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang."
Namun seiring telah berjalannya operasioonal BAZNAS yang sudah banyak aktif di sampai di tingkat kabupaten serta Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh organisasi masyarakat keagamaan dan telah mendapat izin resmi dari pemerintah maka secara hukum Islam, amil di masjid dan mushala harus mendapatkan legalitas dari pemerintah dalam hal ini BAZNAS atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh BAZNAS
Untuk mengetahui pihak yang berwenang mengangkat amil di Indonesia, dari tingkat nasional sampai desa, diperlukan pemahaman Pengelola Zakat yang ada, sebagaimana dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dari dasar tersebut lanjutnya, dapat diketahui bahwa ada tiga Pengelola Zakat yang ada di Indonesia. Pertama adalah Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik ditingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten. Kedua adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin oleh BAZNAS dan ketiga adalah Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan dalam Masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan akui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ.
Peran kantor urusan agama (KUA) sangat
penting dan strategis dalam upaya meningkatkan kualitas ibadah rukun
Islam yang ketiga setelah sholat. KUA institusi negara di bidang agama yang
paling dekat dan bersentuhan langsung dengan masjid dan musholla. Peran
KUA sangat dibutuhkan dalam menata pengelolaan zakat supaya lebih terarah dan
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu juga sudah menjadi
salah satu fungsi KUA sebagaimana dalam pasal 3 ayat 1 huruf e dan huruf h
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Urusan Agama disebutkan bahwa KUA mempunyai fungsi pelayanan
bimbingan kemasjidan juga pelayanan bimbingan zakat dan wakaf. Namun itu semua
tergantung kemauan, kondisi dan situasi yang ada karena kondisi sumber daya
manusia KUA di beberapa daerah sangat minim.
KUA bersama penghulu dan atau penyuluh agama Islam yang ada dapat berkoordinasi dengan BAZNAS atau LAZ yang ada dalam bimbingan dan penyuluhan zakat kepada para ta’mir masjid dan musholla. Bimbingan dilanjutkan pelatihan administrasi zakat kepada ta’mir masjid dan musholla dilakukan secara berkelanjutan sehingga pengelolaan zakat yang meliputi pengumpulan dan distribusinya berjalan dengan baik dan akuntabel. Tentunya kepanitiaan zakat yang sudah biasa terbentuk harus tetap dilibatkan dan disahkan dengan memberikan surat keputusan pengesahan (SK) sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) yang merupakan bagian dari BAZNAS atau LAZ
Walaupun dalam struktur disebut sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) namun juga menjadi kepanjangan tangan BAZNAS atau LAZ dalam membantu distribusinya karena dalam fiqh zakat dijelaskan bahwa hasil pengumpulan zakat di suatu daerah lebih utama dibagikan ke mustahiq di daerah asal perolehan zakat tersebut dan yang paling mengetahui perihal mustahiq zakat adalah lembaga yang terdekat yaitu masjid dan musholla sekitarnya. Dengan demikian baik pengumpulan zakat infaq-shodaqoh maupun pendistribusian bisa lebih maksimal dan lebih tepat sasaran.
Pada akhirnya sudah menjadi keniscayaan di
setiap masjid harus ditata pengeloaan fungsi sosial sesuai ketentuan peraturan
yang ada. Pengajuan permohonan legalitas masjid sebagai unit pengumpul zakat (UPZ)
dikoordinir oleh KUA kecamatan setempat atau para penghulu dan penyuluh agama
Islam ataupun secara mandiri oleh pengurus ta’mir masjid kepada BAZNAS atau LAZ.
Alhamdulillah, menurut informasi dari BAZNAS Kabupaten Gresik menjelang
Ramadhan 1440 H ini di wilayah Kabupaten Gresik sejumlah 115 masjid dari 1.100 masjid se Kabupaten
Gresik sudah mendapatkan SK sebagai UPZ yang ada berguna untuk bisa
meningkatkan fungsi sosial nya.KUA bersama penghulu dan atau penyuluh agama Islam yang ada dapat berkoordinasi dengan BAZNAS atau LAZ yang ada dalam bimbingan dan penyuluhan zakat kepada para ta’mir masjid dan musholla. Bimbingan dilanjutkan pelatihan administrasi zakat kepada ta’mir masjid dan musholla dilakukan secara berkelanjutan sehingga pengelolaan zakat yang meliputi pengumpulan dan distribusinya berjalan dengan baik dan akuntabel. Tentunya kepanitiaan zakat yang sudah biasa terbentuk harus tetap dilibatkan dan disahkan dengan memberikan surat keputusan pengesahan (SK) sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) yang merupakan bagian dari BAZNAS atau LAZ
Walaupun dalam struktur disebut sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) namun juga menjadi kepanjangan tangan BAZNAS atau LAZ dalam membantu distribusinya karena dalam fiqh zakat dijelaskan bahwa hasil pengumpulan zakat di suatu daerah lebih utama dibagikan ke mustahiq di daerah asal perolehan zakat tersebut dan yang paling mengetahui perihal mustahiq zakat adalah lembaga yang terdekat yaitu masjid dan musholla sekitarnya. Dengan demikian baik pengumpulan zakat infaq-shodaqoh maupun pendistribusian bisa lebih maksimal dan lebih tepat sasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar