Oleh : NASICHUN AMIN*
Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat kecuali dalam
dua kondisi, yakni ketika kondisi teramat bahaya (perang berkecamuk) dan shalat
sunnah yang dikerjakan saat perjalanan. Ini adalah pendapat Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin
Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i . Masih menurut beliau ada dua kondisi terkait
menghadap kiblat yang nanti akan memberikan konsekuensi hukum yang berbeda,
yakni: Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib baginya
menghadap ‘ain kiblat. Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat dulu,
jika ia tahu arah kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang
terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu
berijtihad lagi, jika ia melihat sekumpulan muslimin di suatu tempat shalat
menghadap ke sebuah arah, maka ia tidak perlu ijtihad, karena hal itu sama saja
seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu, jika ia
adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan kondisinya jauh dari
Makkah, ia mesti berijtihad mencari arah kiblat menggunakan metode bisa dari
melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup, maka wajib baginya
berijtihad sebagaimana orang alim berijtihad menyikapi persoalan fiqih terbaru.
Pengalaman penulis dalam beberapa pelaksanaan
tugas pelayanan permohonan pengukuran arah kiblat masjid atau ibadah masih ada
beberapa tempat ibadah arah kiblatnya kurang presisi bahkan ada yang mencapai
selisih 10 derajat lebih. Hal ini membuktikan bahwa sangat penting untuk
melakukan penelitian atau survey ulang arah kiblat yang ada di tempat ibadah
umat Islam dan member sertipikat arah kiblat sebagai bukti telah dilakukan
pengukuran sesuai dengan metode yang lebih tepat.
Cara memperbaharui
arah kiblat yang kurang tepat dengan arah kiblat yang benar bukanlah perkara
yang sulit, akan tetapi realisasinya di masyarakat. Hal tersebut akan
menimbulkan polemik jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Dalam konteks zaman sekarang, perkembangan teknologi sangat
membantu untuk menentukan arah kiblat, bahkan pada titik koordinat keberadaan
Ka’bah yang akurat. Berbagai fasilitas seperti GPS, kompas, theodolit, dan
sejumlah aplikasi di android seyogianya dimanfaatkan untuk usaha pencarian
posisi kiblat yang tepat. Dengan berbagai kemudahan ini, keterbatasan
pengetahuan untuk mengetahui posisi Ka’bah bisa diminimalisasi.
Akan
tetapi tidak semua wilayah bisa memanfaatkan fonemena Qiblat Day di kota Makkah
ini untuk menentukan arah kiblat, termasuk Makkah sendiri. Pada saat Qiblat
Day, matahari berada diatas Ka’bah sehingga benda yang berdiri tegak di sekitar
Ka’bah (Makkah) tidak menimbulkan bayangan sama sekali. Semakin dekat dengan
Ka’bah semakin sulit menggunakan momen Qiblat Day ini.
Penentuan
qiblat pada saat Qiblat Day ini hanya bisa digunakan oleh kaum muslimin dari
tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa, sementara Amerika dan Australia tidak
bisa memanfaatkan momen ini karena pada saat tersebut di Amerika matahari belum
terbit dan di Australia matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Wilayah
Indonesia juga bisa memanfaatkan fonemena ini kecuali Indonesia bagian timur. Secara
umum negara-negara yang bisa memanfaatkan qiblat day ini hanya negara yang
perbedaan waktunya tidak lebih dari 5 jam dengan waktu Makkah, atau bujurnya
tidak lebih dari 90ยบ dari Makkah ke barat maupun ke timur.
Qiblat Day sangat bagus untuk dimanfaatkan
bagi segenap ta’mir masjid atau musholla dalam rangka mengukur akurasi arah
kiblat di setiap tempat ibadah umat Islam baik masjid maupun musholla. Namun tentunya
para ta’mir masjid atau musholla tidak semua mengerti atau bahkan sebagian
besar mereka sangat awam perihal tata cara menggunakan fenomena Qiblat Day ini.
Oleh karena itu kantor urusan agama (KUA)
melalui penghulu dan penyuluh agama Islam yang berada di kecamatan sebagai
ujung tombak Kementerian Agama RI dalam penerapan syari’at Islam di daerah
seharusnya proaktif memberikan penjelasan atau penyuluhan atau minimal membuat
dan mengedarkan sosialisasi melalui surat kepada segenap ta’mir masjid maupun
musholla. Upaya KUA ini sebenarnya sangat mudah apalagi bisa bekerjasama dengan
lembaga atau ormas Islam yang ada di daerah masing-masing seperti Dewan Masjid
Indonesia atau Majelis Ulama Indonesia serta Ormas Nu atau Muhammadiyah. (
artikel diambil dari berbagai sumber )
*Penghulu
Madya/Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar