Kamis, 24 Oktober 2019

KONTRA RADIKALISME & MODERASI BERAGAMA DALAM TUSI KUA

Oleh ; NASICHUN AMIN*)
Tulisan di media massa dan media online yang telah tersebar luas bahwa 19,4 persen PNS menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, dan 19,1 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan Pancasila. 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan negara Islam/ khilafah. Informasi adanya 3 persen prajurit TNI dan purnawirawannya  terpapar radikalisme juga disebutkan oleh Ryamizard Ryacudu sewaktu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Angka itu didapat setelah berkeliling Indonesia. Ia mengharapkan mereka para prajurit yang terpapar agar tetap mematuhi sumpah prajurit dan sapta marga TNI.
Informasi ini bagi penggagas dan pelaku penyebaran radikalisme berbalut agama adalah sebuah kesuksesan dan keberhasilan. Hanya dengan masa belasan tahun saja virus opini kemudahan menganggap kafir saudara sendiri sampai menghalalkan darah saudara sendiri sudah menyebar hampir ke semua daerah di tanah air nusantara yang kita cintai ini. Racun pemikiran merasa paling benar dalam beragama dan beraqidah serta membenarkan penyebaran hoak / berita bohong di media sosial tanpa tabayun demi kepentingan adu domba serta membakar dan membuat permusuhan di antara saudara se bangsa dan se tanah air hampir tidak terbendung.
Amanat sebagai Menteri Agama pada periode Pemerintah Kabinet Indonesia Maju yang diemban seorang Jendral TNI (Purn) Fachrul Razi bukan tanpa alasan yang tidak mendasar. Beberapa pengamat politik menyebutkan alasan karena slogan agama terlalu massif digunakan sebagai alat propaganda adu domba dan gerakan para pelaku radikalisme. Radikalisme yang sudah menyebar dalam otak umat dan bahkan dalam fikiran remaja pemuda penerus masa depan bangsa. Pelaku radikalisme dan terorisme didominasi usia muda bahkan masih belasan tahun. Perlu pemimpin tertinggi di kementerian agama yang berbegron militer dan seorang agamis sekaligus nasionalis.
Sebagaimana tulisan Tarmizi Tohor di opini webside ini terdahulu bahwa dalam empat tahun terakhir Kemeterian Agama aktif mempromosikan pengarusutamaan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan menemukan momentumnya.
Menurut Thobib Al-Asyhar konsep "Moderasi Beragama" yang dipraktikkan Indonesia dengan segudang kekhasannya dapat dijadikan media soft diplomacy di tataran dunia. Jika kita lihat, banyak negara dengan mayoritas berpenduduk muslim menghadapi kendala serius dalam mengelola keragaman warganya. Mereka rata-rata "gagal" dalam mendialogkan antara urusan negara dengan agama. Sementara Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim dengan jumlah terbesar di dunia telah berhasil tegak berdiri melalui bangunan nation-state yang dipayungi Pancasila dan UUD 1945. Konsep Moderasi Beragama yang diusung Menag LHS telah mendapat sambutan "wow" dari banyak kalangan. Tak terkecuali dari kalangan atau kelompok kanan sekalipun. Mereka melihat bahwa konsep moderasi beragama LHS betul-betul dibutuhkan oleh bangsa ini dan bahkan oleh dunia.
Kontra radikalisme atau deradikalisasi merupakan salah satu tujuan dilaksanakan moderasi beragama yang lebih bersifat pencegahan dari pada penindakan. Moderasi beragama bagi yang sudah terpapar juga sebagai upaya penyembuhan dari virus radikalisme yang sudah tertanam dalam fikiran korban yang terpapar. Perlu banyak pihak yang harus aktif berpartisipasi dalam program ini terutama karena menjadi alasan utama diserahterimakan amanat menteri agama kepada seorang jendral TNI.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan sebagai ujung tombak Kementerian Agama di level terdepan dalam kehidupan masyarakat harus turut serta mengambil posisi menangkal berbagai permasalahan di atas termasuk dalam menangani radikalisme , paham agama yang menyimpang dan intoleran walaupun sangat banyak keterbatasan yang dimiliki terutama tentang sumber daya manusia yang ada. KUA dengan personil aparatur di dalamnya yang terbatas jumlahnya harus mampu lebih dalam memahami ketiga paham tersebut dan membantu upaya pemerintah dan bersinergi dengan masyarakat untuk menanggulanginya.

Bagaimanapun kondisi KUA yang ada saat ini juga bisa mampu bekerjasama dengan para tokoh masyarakat mensikapi dan meminimilisir penyebaran  virus paham tersebut. Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menghadapi paham tersebut serta saran dan nasehat dari para tokoh masyarakat yang bisa dilakukan  oleh KUA tentunya bersama-sama dengan para tokoh masyarakat dari berbagai elemen yang ada.

Sebagai unit pelaksana teknis pada Kementerian Agama, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, KUA harus lebih banyak bergerak dalam tataran teknis yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di level bawah dan keluarga. Kekompakan aparatur pemerintah di kecamatan termasuk KUA bersama masyarakat tentunya akan membawa dampak positif mewujudkan visi Kementerian Agama yaitu untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, dan sejahtera lahir dan batin dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.
Peran KUA amat sangat strategis. Untuk itu tugas dan fungsi KUA harus lebih nyata tidak sekedar mengurusi nikah dan rujuk. Sebagaimana dalam PMA Nomor 34 tahun 2016 yang di dalamnya terdapat tugas dan fungsi KUA dan sudah dilakukan oleh KUA berupa program penyuluhan mengenai kemasjidan, zakat, wakaf, pembinaan syari’ah dan penyuluhan keagamaan lain yang sudah dilakukan perlu dipertahankan dan ditingkatkan dan di dalamnya juga disosialisasikan bahaya ancaman radikalisme, paham-paham keagamaan yang menyimpang, dan intoleransi serta ditambah dengan menyebarkan semangat dan paham moderasi beragama..
KUA harus bisa bersinergi dengan perangkat pemerintah yang ada dan organisasi masyarakat di tingkat kecamatan maupun desa untuk bersama menyebarkan konsep moderasi beragama sekaligus menangkal pengarush radikalisme dan terorisme. Kalau sudah terdapat korban masyarakat yang telah terpapar radikalisme maka KUA segera berkoordinasi dengan perangkat pemerintah yang bertanggung jawab mengendalikannya. Bisa jadi masyarakat yang terpapar buka masyarakat biasa atau orang yang awam dari segi pendidikan dan intelektual nya. Kenyataan yang ada banyak anggota masyarakat golongan menengah ke atas baik dari tingkat pendidikan dan ekonominya termasuk tinggi sudah terpapar virus radikalisme.
Harapan kami di  KUA sebagai pelayan umat dan ujung tombak pemerintah di tingkat paling bawah dapat segera dibekali lebih banyak ilmu dan keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugas berat di atas. Pembinaan, pelatihan dan sosialisasi atau kalau bisa berupa bimbingan tekhnis dalam tugas dan fungsi KUA lebih khusus dalam manunaikan tugas pengembangan konsep moderasi beragama dan kontra radikalisme.
*) Penghulu Madya dan Kepala KUA Kec. Duduksampeyan Kab. Gresik Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar