Minggu, 03 Mei 2020

“PUASA TAPI TIDAK SHALAT ?” PERTANYAAN TANDA KURANGNYA PEMBINAAN UMAT.




Oleh : Nasichun Amin*

Bulan Suci Ramadhan 1441 H ini sudah hampir separuh kita lalui bersama. Bulan yang penuh berkah, maghfirah dari Allah SWT Dzat Yang Maha Pemurah dan Penuh Ampunan serta janjiNya untuk kita semua terbebas dari api neraka. Umat muslim sedunia pasti sangat merasa bersuka cita di bulan suci ini. Walaupun di tegah ancaman dan ujian wabah corona / covid 19 yang hampir menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ancaman dan ujian ini tentunya tidak boleh membuat kita patah semangat dalam meningkatkan ibadah kita di bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Ujian ini harus menjadi cambuk bagi umat Islam dan semua umat se dunia untuk meningkatkan solidaritas sosial tanpa melihat ras, agama, dan bangsa.
Dalam beberapa media massa terutama dalam grup atau halaman khusus terkait tanya jawab pelaksanaan ibadah atau di grup media secara umum yang diikuti warga tanah air kita, masih beberapa kali ditemukan pertanyaan “bagaimanakah hukum puasa kalau tetap tidak mau shalat ?” .  Ada yang menanyakan bagaimana pahala puasanya ? atau apakah boleh puasa tapi tidak shalat atau shalatnya seingat dan sebisanya ?. Hampir setiap menjelang dan datangnya bulan puasa tahun-tahun sebelumnya ditemukan pertanyaan tersebut.
Jawaban yang sangat lugas salah satunya seperti kutipan dalam khazanah.replubika.co.id  bahwa shalat dan puasa termasuk ke dalam lima rukun Islam. Shalat berada pada nomor urut kedua setelah syahadat. Sedangkan, puasa pada nomor tiga. Berikutnya, yakni zakat dan menjalankan ibadah haji jika mampu. Tak seperti haji, shalat dan puasa diwajibkan kepada setiap Muslim yang baligh dan suci tanpa terkecuali. Jika dia tak menjalankan kewajiban ini tanpa uzur, dia telah melanggar perintah Allah SWT.
Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer menjelaskan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang berpendapat kafir terhadap orang yang meninggalkan salah satu nya, ada yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengeluarkan zakat, ada pula yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat saja. Sebagaimana kita tahu, shalat merupakan tiang agama. Nabi SAW pun menjelaskan, meninggalkan shalat dekat dengan kekafiran. "(Hal yang membedakan) antara seseorang dan kekafiran adalah meninggalkan shalat." (HR Muslim).
Mereka yang mengafirkan orang meninggalkan shalat beranggapan bahwa menjalankan puasa, tetapi tidak shalat, maka puasanya tidak diterima Allah. Alasannya, ibadah orang kafir tidak diterima sama sekali oleh Allah SWT. Salah satu yang ber pendapat itu adalah Syekh Muhammad bin Sholih al Utsamain. Syekh Utsamain menukil salah satu hadis, yakni "perjanjian an tara kami dan mereka (orang ka fir) adalah mengenai shalat. Barang siapa meninggalkannya, dia telah kafir." (HR Ahmad, at-Tir midzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah).
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap dalam keadaan iman dan Islam selama masih membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan semua ajaran yang dibawa Nabi SAW. Mereka tidak mengingkari atau meragukannya. Para ulama tersebut pun menyifati orang ter sebut sebagai orang yang durhaka kepada perintah Allah. Dr Muchlis Hanafi menjelaskan, pemahaman kafir pada hadis di atas, yakni melakukan dosa besar yang dipersamakan dengan orang kafir yang tidak shalat. Menurut dia, kafir dalam konteks tersebut bukan berarti yang bersangkutan keluar dari Islam. Meninggalkan shalat dapat menyebabkan seseorang keluar dari Islam apabila disertai pengingkaran atas kewajibannya. Namun, apabila ditinggalkan karena malas atau penyebab lainnya, tetapi tetap meyakini hukum shalat tersebut sebenarnya wajib sebagaimana puasa dan zakat, dia di pandang melakukan dosa besar, tetapi masih berstatus sebagai Muslim.
Di luar konteks jawaban yang ada dengan berbagai macam pendapat,  namun pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa jadi menunjukkan bahwa dakwah atau pembinaan umat masih harus lebih terarah dan massif dilakukan. Masih banyak para da’i dan muballigh yang berdakwah di daerah yang sudah menjadi wilayah yang sudah bernuansa Islami saja. Walapun sudah ada  beberapa da’i yang mengembangkan dakwahnya di pelosok atau wilayah kering akhlaq dan jauh kedamaian hati, tapi masih dirasa sangat-sangat kurang. Dakwah melalui media sosial  atau jalur online pun juga belum tentu bisa menyentuh mereka yang sangat awam dan tidak ada ghiroh atau semangat untuk belajar ilmu agama lebih baik walaupun jalur ini tetap harus kita galakkan.
Peran penyuluh agama masih dirasa sangat kurang baik dari sisi sumber daya manusianya dan jumlahnya. Gerakan secara massif dan terarah harus dirancang di masing masing sektor dengan baik dan terencana. Media dakwah yang mungkin belum tersentuh seperti di warung kopi / café , tempat olah raga, pasar atau mall harus kita sapa penghuni atau pengunjungnya tentunya dengan izin pemilik usaha.
Semoga ke depan akan muncul ide-ide atau gagasan metode atau cara dakwah yang lebih luas namun mengenai sasaran-sasaran  yang belum pernah dijangkau oleh para penyebar Islam rahmatan lil aalamiin. Peta data dakwah harus selalu kita update setiap beberapa periode sehingga kita mengetahui mana dan apa yang dibutuhkan. Sinergi dan kerjasama semua pihak terutama di tingkat bawah dan dukungan dari para pengambil kebijakan yang terkait bimbingan dan penyuluhan agama lebih dioptimalkan.

*Penulis adalah Penghulu Madya di Kab. Gresik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar