Oleh : Nasichun
Amin*
Bulan
Suci Ramadhan 1441 H ini sudah hampir separuh kita lalui bersama. Bulan yang
penuh berkah, maghfirah dari Allah SWT Dzat Yang Maha Pemurah dan Penuh Ampunan
serta janjiNya untuk kita semua terbebas dari api neraka. Umat muslim sedunia
pasti sangat merasa bersuka cita di bulan suci ini. Walaupun di tegah ancaman
dan ujian wabah corona / covid 19 yang hampir menyebar ke seluruh penjuru
dunia. Ancaman dan ujian ini tentunya tidak boleh membuat kita patah semangat
dalam meningkatkan ibadah kita di bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Ujian ini harus menjadi cambuk bagi umat Islam dan semua
umat se dunia untuk meningkatkan solidaritas sosial tanpa melihat ras, agama,
dan bangsa.
Dalam
beberapa media massa terutama dalam grup atau halaman khusus terkait tanya jawab
pelaksanaan ibadah atau di grup media secara umum yang diikuti warga tanah air
kita, masih beberapa kali ditemukan pertanyaan “bagaimanakah hukum puasa kalau
tetap tidak mau shalat ?” . Ada yang
menanyakan bagaimana pahala puasanya ? atau apakah boleh puasa tapi tidak
shalat atau shalatnya seingat dan sebisanya ?. Hampir setiap menjelang dan datangnya
bulan puasa tahun-tahun sebelumnya ditemukan pertanyaan tersebut.
Jawaban yang sangat lugas salah satunya seperti kutipan dalam
khazanah.replubika.co.id bahwa shalat
dan puasa termasuk ke dalam lima rukun Islam. Shalat berada pada nomor urut
kedua setelah syahadat. Sedangkan, puasa pada nomor tiga. Berikutnya, yakni
zakat dan menjalankan ibadah haji jika mampu. Tak seperti haji, shalat dan
puasa diwajibkan kepada setiap Muslim yang baligh dan suci tanpa terkecuali.
Jika dia tak menjalankan kewajiban ini tanpa uzur, dia telah melanggar perintah
Allah SWT.
Syekh Yusuf
Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer menjelaskan, para ulama berbeda pendapat
dalam masalah ini. Ada yang berpendapat kafir terhadap orang yang meninggalkan
salah satu nya, ada yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan
shalat dan tidak mengeluarkan zakat, ada pula yang menganggap kafir terhadap
orang yang meninggalkan shalat saja. Sebagaimana kita tahu, shalat merupakan
tiang agama. Nabi SAW pun menjelaskan, meninggalkan shalat dekat dengan
kekafiran. "(Hal yang membedakan) antara seseorang dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat." (HR Muslim).
Mereka yang
mengafirkan orang meninggalkan shalat beranggapan bahwa menjalankan puasa,
tetapi tidak shalat, maka puasanya tidak diterima Allah. Alasannya, ibadah
orang kafir tidak diterima sama sekali oleh Allah SWT. Salah satu yang ber
pendapat itu adalah Syekh Muhammad bin Sholih al Utsamain. Syekh Utsamain
menukil salah satu hadis, yakni "perjanjian an tara kami dan mereka (orang
ka fir) adalah mengenai shalat. Barang siapa meninggalkannya, dia telah
kafir." (HR Ahmad, at-Tir midzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah).
Selain itu, ada
yang berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap dalam keadaan iman dan Islam
selama masih membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan semua ajaran yang dibawa Nabi
SAW. Mereka tidak mengingkari atau meragukannya. Para ulama tersebut pun menyifati
orang ter sebut sebagai orang yang durhaka kepada perintah Allah. Dr Muchlis
Hanafi menjelaskan, pemahaman kafir pada hadis di atas, yakni melakukan dosa
besar yang dipersamakan dengan orang kafir yang tidak shalat. Menurut dia,
kafir dalam konteks tersebut bukan berarti yang bersangkutan keluar dari Islam.
Meninggalkan shalat dapat menyebabkan seseorang keluar dari Islam apabila
disertai pengingkaran atas kewajibannya. Namun, apabila ditinggalkan karena
malas atau penyebab lainnya, tetapi tetap meyakini hukum shalat tersebut
sebenarnya wajib sebagaimana puasa dan zakat, dia di pandang melakukan dosa
besar, tetapi masih berstatus sebagai Muslim.
Di
luar konteks jawaban yang ada dengan berbagai macam pendapat, namun pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa jadi
menunjukkan bahwa dakwah atau pembinaan umat masih harus lebih terarah dan massif
dilakukan. Masih banyak para da’i dan muballigh yang berdakwah di daerah yang
sudah menjadi wilayah yang sudah bernuansa Islami saja. Walapun sudah ada beberapa da’i yang mengembangkan dakwahnya di
pelosok atau wilayah kering akhlaq dan jauh kedamaian hati, tapi masih dirasa sangat-sangat
kurang. Dakwah melalui media sosial atau
jalur online pun juga belum tentu bisa menyentuh mereka yang sangat awam dan
tidak ada ghiroh atau semangat untuk belajar ilmu agama lebih baik walaupun
jalur ini tetap harus kita galakkan.
Peran
penyuluh agama masih dirasa sangat kurang baik dari sisi sumber daya manusianya
dan jumlahnya. Gerakan secara massif dan terarah harus dirancang di masing
masing sektor dengan baik dan terencana. Media dakwah yang mungkin belum
tersentuh seperti di warung kopi / café , tempat olah raga, pasar atau mall
harus kita sapa penghuni atau pengunjungnya tentunya dengan izin pemilik usaha.
Semoga
ke depan akan muncul ide-ide atau gagasan metode atau cara dakwah yang lebih
luas namun mengenai sasaran-sasaran yang
belum pernah dijangkau oleh para penyebar Islam rahmatan lil aalamiin. Peta
data dakwah harus selalu kita update setiap beberapa periode sehingga kita
mengetahui mana dan apa yang dibutuhkan. Sinergi dan kerjasama semua pihak
terutama di tingkat bawah dan dukungan dari para pengambil kebijakan yang
terkait bimbingan dan penyuluhan agama lebih dioptimalkan.
*Penulis adalah
Penghulu Madya di Kab. Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar